Sabtu, 03 Desember 2016

Bungkus dan Isi

Apa benar berkata baik itu dilihat dari baik ucapannya, rapi mengatakannya, merdu suaranya dan indah bahasanya?

Jadi sudah pasti jika pria bersurban dan berjubah lalu wanita berkhimar dan berketutupan semua tubuhnya itu baik dan benar (tentu saja kebanyakan dari mereka Insya Allah baik)?

Tidakkah itu seperti seorang Koruptor? Ia baik di media, berpakaian rapi, berkata-kata indah dan ramah parasnya. Atau bahkan tampan dan cantik orangnya.

Tentu saja yang terlihat baik belum tentu baik, jika perkataannya yang indah dan rapi ditujukan untuk menghina secara lembut itu jelas tidak baik, karena niatnya saja sudah buruk. Apalagi jika diniatkan untuk menyerang satu pihak hanya karena tidak sependapat dan lain-lain.

Itu ibarat bangkai yang diselimuti kain emas atau kotoran yang diberi parfum termahal, ia tetap akan menjadi bangkai dan kotoran bagaimanapun juga.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).

Tak selamanya perkataan baik harus direkayasa dan dibuat tipu daya dengan yang terlihat dari bungkusnya saja. Mereka yang berwajah dua seperti koruptor atau penipu yang paling sering mengamalkannya. Kita jangan meniru hal yang demikian

Berucaplah dan pertanggungjawabkan ucapanmu, sehingga hati-hati baik dari bungkus dan isinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang menyungkurkan leher manusia di dalam neraka melainkan hasil lisan mereka.” (Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 5136)

Bisa saja ucapan baik hadir dari pembahasaan yang kasar namun ia menggetarkan hati pendengar hingga benar-benar bisa membuat orang itu memperbaiki diri, tak selamanya datang dari yang berpenampilan (berbungkus baik)

Seperti seorang sahabat nabi yang sadar akan dirinya karena perkataan orang gila, seperti khalifah Umar yang sadar akan kepemimpinannya lewat orang miskin dan gelandangan. Dan pasti masih banyak contoh lainnya bahkan datang dari pengalaman pribadi masing-masing pembaca.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
Seseorang mati karena tersandung lidahnya
Dan seseorang tidak mati karena tersandung kakinya
Tersandung mulutnya akan menambah (pening) kepalanya
Sedang tersandung kakinya akan sembuh perlahan.

Mari luruskan niat dan berkata baik melalui isi, jika bisa melalui bungkus dan isi juga lebih baik. Apalagi kewajiban sebagai Muslim adalah melaraskan ucapan, pikiran dan tindakan.

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya, Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala, hlm. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara, karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan.”

Tak perlu banyak menjual dalil jika bukan untuk yang baik, kalau ayat atau dalil yang suci hanya digunakan untuk niat yang tak suci apalah gunanya, anda tidak akan dilihat islami oleh orang yang mengerti dan hanya menjadi manusia yang keji karena menipu orang yang masih belum pintar dengan dalil-dalil.

Ketahuilah saudara-saudariku sekalian, Allah mengingatkan pada kita melalui Al-Qur'an (sebagai pengingat kita semua. Bukan untuk memperalat ayat dan dalil)

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوولًا

Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawaban.’ (QS. Al-Isra’:36)

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu kalimat pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.’ (QS. Qaf :18)

Jangan sampai akhirnya nanti seperti realita yang sering kita jumpa yakni "Yang disindir tidak sadar yang nyindir merasa sempurna"

Karena Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata kembali dalam kitabnya, Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala, kali ini pada halaman 49 “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat maka dia akan diam. Sementara orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya.”

Ingatlah, berkata baik (melalui isi dan sebisa mungkin bungkusnya juga, jangan hanya bungkusnya) atau diam

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Berpikir baik, berkata baik, berbuat baik.

Balas yang buruk dengan yang baik, balas yang baik dengan lebih baik.

Allah menginstruksikan pada kita dalam Al-Qur'an demikian

ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ ۚنَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ

'Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan.'
(QS. AL-Mu'minun :96)

Jadi baik tapi jangan jadi yang paling benar, karena ingatlah dengan dzikrullah.

Kesempurnaan dan kebenaran sejati hanya milik Allah.

Tebar kasih dan cinta, jangan benci dan dusta

Jumat, 02 Desember 2016

Yang Mencipta bukan yang dicipta

Takut, ekspresi yang hadir dan mengancam diri seseorang. Datang dari beragam hal dan ada ketakutan yang di rasa final dan absolut. Yaitu takit dikala menghadapi kematian atau masuk neraka.

Kematian adalah suatu kepastian yang sudah melekat bagi siapapun yang bernyawa, sedangkan neraka adalah tempat terburuk yang akan ditempati kekal bagi mereka yang mati jika hidupnya berlaku jahat atau minim amal.

Mati, kiamat dan neraka hampir tertera dalam setiap agama, kepercayaan atau aliran-aliran. Sehingga orang akan melakukan kebaikan dalam hidup untuk mengindari mati yang buruk dan masuk neraka yang kekal.

Kenapa takut mati yang sudah pasti? Seolah saking takutnya nggak mau mati? Kenapa takut neraka? Seolah neraka adalah tempat yang mutlak takkan tergantikan sebagai hunian setelah mati?

Hei, simak ilustrasi ini. Nuklit diciptakan oleh ahli nuklir, dikendalikan dan aktif olrh yang membuatnya, nuklir yang super berbahaya itupun akhirnya bisa jinak atau aman karena terdapat pawangnya yaitu si ahli nuklir. Dalam artian Nuklir yang ledakannya mampu menghancurkan satu negara atau benuapun bisa dilunakan dan dapat di buat tak berdaya selama ada pencipta atau si pawangnya.

Jika kamu ingin menguasai dan mengendalikannya maka kamu cukup dekati saja si pengendali, atau lakukan hal yang baik dan turuti si pencipta atau pengendali ini, niscaya nuklir ini akan aman-aman saja.

Begitulah hidupmu, jika ingin menghadapi kepastian yang tak bisa dipungkiri (kematian dan neraka) maka berhentilah takut akan hal itu. Kematian dan neraka adalah ciptaan sama seperti kita, yang diciptakan Tuhan. Tuhan maha pengasih dan penyayang, Tuhan mendengarkan do'a kita dan paling tahu apa yang ada di dalam diri kita bahkan lebih dari diri kita.

Menjinakkan Neraka dan mengatur kematian adalah hal yang ringan bagi Tuhan, tak perlu takut mati dan neraka itu. Dekatilah Tuhan dengan tulus melalui ibadah dan amal saleh yang lurus hanya berasaskan niat pada Tuhan semata.

Niscaya kematianmu akan diatur sebagaimana layaknya kamu dan tempat kekalmu saat mati nanti yaitu surga.

Ingat, Mati dan Neraka itu hanyalah ciptaan Tuhan!

Tuhan adalah maha atas segalanya, maka tidak ada yang tidak mungkin atas kehendakNya. Datangilah diriNya, jika takut, maka takutlah hanya kepadaNya pula.

Semoga bermanfaat. insya Allah