Minggu, 03 Mei 2015

Kepemimpinan Wanita dalam Pandangan Muhammadiyah


   Sejauh ini, sebagai bagian dari masyarakat Muhammadiyah, sudahkah kita berMuhammadiyah dengan benar? Mengetahui hal-hal yang secara mikro dan makro di bahas dalam Muhammadiyah. Kami rasa pada generasi saat ini kurangnya militansi kader dan semangat juagn dalam pergerakan ini salah satu penyebab utamanya adalah pengetahuan yang kurang pada gerakan Muhammadiyah itu sendiri.


   Oleh sebab itu jelas kita saksikan mengapa daya juang pergerakan kaum muda menurun dan cenderung terjadi degradasi adalah karena mau memperjuangkan apa bila wadah mereka berjuang didalamnya saja dirinya tidak tahu. Maka pada kesempatan kali ini kami menyajikan pandangan daripada Putusan Tarjih mengenai perempuan sebagai pemimpin.


   Hal ini akan menjadi perbincangan menarik dikarenakan dari masyarakat Muhammadiyah sendiri yang masih begitu kurang mengenai apa saja yang ada dalam putusan Tarjih yang merupakan trade mark otentik dari Muhammadiyah yang menjadi landasan dalam pergerakan baik Ubuddiyah dan hal lain-lain. Kajian mengenai perempuan selalu menjadi isu menarik yang selalu di bahas oleh berbagai pihak baik Islam maupun Non Islam sekalipun.
   
   Sebagai pembahasan dan bagia paling fundamental tentu saja peran wanita dalam perjuangannya yang besar tidak dapat disisihkan dan oleh sebab itu kami berusaha mengangkatnya kali ini untuk menambah wawasan kader ikatan dan masyarakat Muhammadiyah secara umum mengenai putusan tarjih terhadap kepemimpinan Perempuan.

a. Putusan Majelis Tarjih tentang Kepemimpinan Perempuan


    Sejauh ini hanya ada satu putusan Majelis Tarjih yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan. Keputusan tersebut terhimpun dalam satu kitab yang dinamai Adabul Mar’ah fiil Islam. Risalah ini dihasilkan dalam Muktamar Tarjih ke 18 yang dilangsungkan di Garut. Dalam keputusan ini topik kepemimpinan perempuan diketengahkan pada sajian bab “wanita dalam bidang politik” dan bab “bolehkah wanita menjadi hakim”. Bab “ wanita Islam dalam bidang politik” membuka pembahasannya dengan surat At-Taubah ayat 71, yaitu: Artinya: “Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan satu sama lain menjadi penolong; mereka menyuruh kebajikan dan melarang kejahatan; mereka mendirikan sholat, mereka mengeluarkan zakat dan mereka patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan dianugerahi rahmat Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”


    Ayat di atas dipahami oleh Majelis Tarjih sebagai ayat yang mendorong setiap Muslim dan Muslimah untuk berkiprah secara intensif dalam kegiatan-kegiatan amar bil ma’ruf dan nahi ‘anil-munkar yang mencakup pelbagai bidang kehidupan. Di antaranya adalah bidang politik dan ketatanegaraan. Politik sebagaimana bidang-bidang lainnya, penting perannya dalam membawa ke arah perbaikan masyarakat. Demikian pentingnya peran ini baik kaum laki-laki maupun perempuan yang memiliki kompetensi diundang untuk terlibat secara intensif dengan cara memikirkan persoalan-persoalan politik dan kenegaraan dan melibatkan diri secara praktis di dalamnya karena praktek politik dan ketatanegaraan yang sehat dapat mewujudkan kesejahteraan ummat.


    Karena itulah, menurut Majelis Tarjih dapat dipahami mengapa “hampir seluruh ajaran Islam tentang mu’amalat duniawiyat mengandung unsur-unsur politik dan ideologis. Karena dalam Islam tidak ada pembedaan antara agama, masyarakat, dan negara. Bahkan islam memberikan landasan fundamental bagi kesejahteraan pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara.

Majelis Tarjih, selanjutnya menjelaskan bahwa peran perempuan dalam politik dapat diimplementasikan dalam dua peran. Pertama peran yang bersifat langsung dan kedua peran tidak langsung. Peran langsung diwujudkan dalam bentuk keterlibatan dalam badan legislatif, mulai dari pusat hingga daerah. Untuk itu, menurut Majelis Tarjih “kaum wanita harus ikut serta dan berjuang untuk mencapai jumlah perwakilan yang memadai. Sedangkan peran tidak langsung dapat direalisasikan dalam kegiatan-kegiatan penyadaran politik mulai dari rumah tangga, masyarakat, dengan cara “mengambil bagian aktif dan mengisi kesempatan-kesmpatan yang bermanfaat di dalam masyarakat, dan pengisian lembaga-lembaga kemasyarakatan.


    Dalam bidang tersebut kaum wanita harus dapat mengambil peran yang menentukan. Bab bolehkah wanita menjadi hakim? Diawali dengan kalimat bahwa “Di sisi Allah, wanita dan laki-laki masing-masing bertanggungjawab atas perbuatannya tentang amal soleh yang mendatangkan pahala atau perbuatan dosa yang menyebabkan hukuman”. Hal ini didasarkan pada surat An-Nisa ayat 124, yaitu: Artinya: “Barang siapa mengerjakan perbuatan baik, baik laki-laki ataupun perempuan dengan dasar iman, mereka itu akan masuk surga dan tidak dirugikan sedikitpun”.


    Di samping itu, dengan mengutip surat At-Taubah ayat 71 yang disajikan di depan, Majelis Tarjih memandang bahwa laki-laki dan perempuan bertanggungjawab atas kegiatan amar bil ma’ruf dan nahi ‘anil munkar untuk menegakkan keadilan dan menghapus kelaliman. Karena itu, meskipun secara faktual di lapangan laki-laki banyak mengisi berbagai lapangan kehidupan, namun perempuan pun diberikan kesempatan yang sama. Sebab tidak ada satu teks pun yang melarang perempuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang selama inilebih banyak diisi oleh laki-laki, sepanjang tidak keluar dari bingkai kebaktian (amal sholeh) kepada Allah.


b. Tentang Perspektif Gender


    Kata gender adalah sebuah konsep yang menunjuk pada sistem peranan dan relasi antara laki-laki dan perempuan yang ditentukan oleh perbedaan biologis melainkan oleh lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Secara teknis operasional perspektif gender adalah cara pandang yang digunakan untuk membedakan segala sesuatu yang bersifat normatif dan bilogis dengan segala sesuatu yang merupakan produk sosial budaya dalam bentuk kesepakatan dan fleksibilitas yang dinamis. Dalam pengertian ini, ajaran Islam memberikan dukungan terhadap eksistensi keadilan gender melalui prinsip-prinsip umum yang dikandungnya.


    Prinsip-prinsip dimaksud adalah: (1) Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki potensi yang sama untuk menjadi hamba Allah yang ideal yang disebut mutaqin. (2) Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah Allah di muka bumi samasama memiliki tugas memakmurkan bumi, (3) Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial, (4) Laki-laki dan perempuan sama-sama terlibat dalam drama kosmis, (5) laki-laki dan perempuan sama-sam berpotensi meraih prestasi. Pandangan Al-Qur’an tentang kesetaraan gender di atas mesti diletakkan dalam figura proses peningkatan kualitas dan peradaban manusia yang dicirikan dengan hubungan antar manusia yang adil, demokratis, egalitarian, dan manusiawi.


c. Analisis Gender atas Wawasan Muhamamdiyah tentang Kepemimpinan Perempuan


    Sebagai sebuah lembaga yang berkecimpung dalam kajian hukum dan melahirkan tuntuna hukum, produk Majelis Tarjih dapat dikelompokkan sebagai hasil pemikiran dalam bidang hukum. Meskipun berbasiskan teks-teks keagamaan berupa Al-Qur’an dan AlHadis, pada hakekatnya fiqh adalah ekspresi pemikiran atau buah intelektual manusia sebagai hasil interpretasi dialogis antara persoalanpersoalan yang mengedepan dengan teks-teks dimaksud.


    Ini berarti sebagai buah pemikiran fiqh hadir tidak dalam ruang dan waktu yang vacum. Dalam ungkapan lain sebagai karya intelektual fiqh senyatanya bergumul dengan fakta-fakta yang hidup di tengah masyarakat yang mengitari kemunculannya. Ketika fakta-fakta yang muncul di tengah kehidupan di setiap tempat dan waktu muncul silih berganti dan beragam maka menghadirkan fiqh produk zaman klasik yang mengusung semangat zamannya yang khas, yang tidak jarang sarat dengan aroma yang misoginis, pada era kekinian adalah sebuah sikap pemaksaan intelektual.


   Dengan demikian memunculkan fiqh yang merespon semangat kekinian, meskipun tidak mudah, adalah salah satu upaya yang niscaya karena merupakan satu dari sekian alternatif panduan lahirnya relasi antar manusia yang lebih “sehat” yang pada gilirannya berujung dengan munculnya generasi yang lebih berkualitas. Karena itu memperjuangkan hadirnya fiqh dengan tampilannya yang humanistik, egaliter, demokratis, dan berkeadilan dapat disejajarkan dengan upaya mewujudkan keadilan sosial yang bersifat luas yang bertumpu pada perbedaab etnis, ras, agama, dan kawasan.

  
    Karena itu sekecil apapun upaya yang mengarah ke fiqh model demikian dapat dinilai sebagai jihad intelektual yang sangat mulia yang patut dicatat dalam lembaran sejarah ummat manusia. Beranjak dari keterangan di atas, kajian Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang kepemimpinan perempuan yang diwujudkan dalam pembahasannya tentang kepemimpinan perempuan dalam bidang politik dan kepemimpinan perempuan dalam ibadah (khususnya hukuman perempuan menjadi imam shalat bagi jama’ah yang di dalamnya terdapat laki-laki), kajian Muhammadiyah yang menunjukkan keberpihakannya terhadap kesetaraan perempuan dengan laki-laki. Hal itu terlihat pada semangat yang ditampilkan putusan, fatwa serta wacana yang disajikan yang memberikan tempat bagi perempuan untuk berperan sebagaimana halnya laki-laki.


   Apresiasi terhadap kesetaraan gender dala kajian Majelis Tarjih di atas semakin bermakna jika memperhatikan lahirnya putusan-putusan hukum perempuan menjadi hakim dan perempuan aktif di dunia perpolitikan pembahasan yang dilakukan oleh berbagai organisasi atau lembaga sejenis di Indonesia. Hal yang juga patut diberikan catatan penting dalam rangkaian kajian di atas adala keberpihakan tersebut secara cerdas dilandasi dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender yang dirujuk sebagai panduan alur dari argumentasi yang digunakan untuk putusan-putusannya.


   Berkenaan dengan hukum perempuan menjadi imam shalat bagi jama’ah (yang di dalamnya terdapat) laki-laki, dapat pula dicatat sebagai keberanian Majelis Trajih untuk lagi-lagu berpihak pada kesetaraan. Karena, meskipun persoalan ini bukan persoalan relatif baru namun menghadirkannya di hadapan ummat yang telah terbiasa dengan panduan fiqh yang “baku”, bukanlah upaya yang mudah dan karenanya pula patut diapresiasi.


kesimpulan


   Dari pemaparan yang diketengahkan dari awal hingga akhir kiranya dapat disimpulkan bahwa wawasan Muhammadiyah tentang kepemimpinan perempuan menampilkan keberpihakan pada kesetaraan gender. Keberpihakan itu tampak pada putusan, fatwa serta wacana yang disajikannya yang memberikan kesempatan bagi perempuan untuk tampil menjadi pemimpin dalam berbagai tingkatannya di ruang publik. Bahkan, memperhatikan waktu kemunculannya, kajian Majelis Tarjih tentang hukum perempuan dalam dunia politik serta menjadi hakim dapat dipandang sebagai pioner dalam bidangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar