Sejauh ini, sebagai bagian dari masyarakat Muhammadiyah,
sudahkah kita berMuhammadiyah dengan benar? Mengetahui hal-hal yang secara
mikro dan makro di bahas dalam Muhammadiyah. Kami rasa pada generasi saat ini
kurangnya militansi kader dan semangat juagn dalam pergerakan ini salah satu
penyebab utamanya adalah pengetahuan yang kurang pada gerakan Muhammadiyah itu
sendiri.
Oleh sebab itu jelas kita saksikan mengapa daya juang
pergerakan kaum muda menurun dan cenderung terjadi degradasi adalah karena mau
memperjuangkan apa bila wadah mereka berjuang didalamnya saja dirinya tidak
tahu. Maka pada kesempatan kali ini kami menyajikan pandangan daripada Putusan
Tarjih mengenai perempuan sebagai pemimpin.
Hal ini akan menjadi perbincangan menarik dikarenakan dari
masyarakat Muhammadiyah sendiri yang masih begitu kurang mengenai apa saja yang
ada dalam putusan Tarjih yang merupakan trade mark otentik dari Muhammadiyah
yang menjadi landasan dalam pergerakan baik Ubuddiyah dan hal lain-lain. Kajian
mengenai perempuan selalu menjadi isu menarik yang selalu di bahas oleh
berbagai pihak baik Islam maupun Non Islam sekalipun.
Sebagai pembahasan dan bagia paling fundamental tentu saja peran wanita dalam perjuangannya yang besar tidak dapat disisihkan dan oleh sebab itu kami berusaha mengangkatnya kali ini untuk menambah wawasan kader ikatan dan masyarakat Muhammadiyah secara umum mengenai putusan tarjih terhadap kepemimpinan Perempuan.
a. Putusan Majelis Tarjih tentang Kepemimpinan Perempuan
Sejauh ini hanya ada satu putusan Majelis Tarjih yang
berkaitan dengan kepemimpinan perempuan. Keputusan tersebut terhimpun dalam
satu kitab yang dinamai Adabul Mar’ah fiil Islam. Risalah ini dihasilkan dalam
Muktamar Tarjih ke 18 yang dilangsungkan di Garut. Dalam keputusan ini topik
kepemimpinan perempuan diketengahkan pada sajian bab “wanita dalam bidang
politik” dan bab “bolehkah wanita menjadi hakim”. Bab “ wanita Islam dalam
bidang politik” membuka pembahasannya dengan surat At-Taubah ayat 71, yaitu: Artinya:
“Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan satu sama lain menjadi
penolong; mereka menyuruh kebajikan dan melarang kejahatan; mereka mendirikan
sholat, mereka mengeluarkan zakat dan mereka patuh kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka akan dianugerahi rahmat Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa
lagi Maha Bijaksana.”
Ayat di atas dipahami oleh Majelis Tarjih sebagai ayat yang mendorong
setiap Muslim dan Muslimah untuk berkiprah secara intensif dalam
kegiatan-kegiatan amar bil ma’ruf dan nahi ‘anil-munkar yang mencakup pelbagai
bidang kehidupan. Di antaranya adalah bidang politik dan ketatanegaraan.
Politik sebagaimana bidang-bidang lainnya, penting perannya dalam membawa ke
arah perbaikan masyarakat. Demikian pentingnya peran ini baik kaum laki-laki maupun
perempuan yang memiliki kompetensi diundang untuk terlibat secara intensif
dengan cara memikirkan persoalan-persoalan politik dan kenegaraan dan
melibatkan diri secara praktis di dalamnya karena praktek politik dan ketatanegaraan
yang sehat dapat mewujudkan kesejahteraan ummat.
Karena itulah, menurut Majelis Tarjih dapat dipahami mengapa
“hampir seluruh ajaran Islam tentang mu’amalat duniawiyat mengandung
unsur-unsur politik dan ideologis. Karena dalam Islam tidak ada pembedaan
antara agama, masyarakat, dan negara. Bahkan islam memberikan landasan
fundamental bagi kesejahteraan pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara.
Majelis Tarjih, selanjutnya menjelaskan bahwa peran
perempuan dalam politik dapat diimplementasikan dalam dua peran. Pertama peran
yang bersifat langsung dan kedua peran tidak langsung. Peran langsung
diwujudkan dalam bentuk keterlibatan dalam badan legislatif, mulai dari pusat
hingga daerah. Untuk itu, menurut Majelis Tarjih “kaum wanita harus ikut serta
dan berjuang untuk mencapai jumlah perwakilan yang memadai. Sedangkan peran
tidak langsung dapat direalisasikan dalam kegiatan-kegiatan penyadaran politik
mulai dari rumah tangga, masyarakat, dengan cara “mengambil bagian aktif dan mengisi
kesempatan-kesmpatan yang bermanfaat di dalam masyarakat, dan pengisian
lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Dalam bidang tersebut kaum wanita harus dapat mengambil
peran yang menentukan. Bab bolehkah wanita menjadi hakim? Diawali dengan
kalimat bahwa “Di sisi Allah, wanita dan laki-laki masing-masing bertanggungjawab
atas perbuatannya tentang amal soleh yang mendatangkan pahala atau perbuatan
dosa yang menyebabkan hukuman”. Hal ini didasarkan pada surat An-Nisa ayat 124,
yaitu: Artinya: “Barang siapa mengerjakan perbuatan baik, baik laki-laki ataupun
perempuan dengan dasar iman, mereka itu akan masuk surga dan tidak dirugikan
sedikitpun”.
Di samping itu, dengan mengutip surat At-Taubah ayat 71 yang
disajikan di depan, Majelis Tarjih memandang bahwa laki-laki dan perempuan
bertanggungjawab atas kegiatan amar bil ma’ruf dan nahi ‘anil munkar untuk
menegakkan keadilan dan menghapus kelaliman. Karena itu, meskipun secara
faktual di lapangan laki-laki banyak mengisi berbagai lapangan kehidupan, namun
perempuan pun diberikan kesempatan yang sama. Sebab tidak ada satu teks pun
yang melarang perempuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang selama inilebih
banyak diisi oleh laki-laki, sepanjang tidak keluar dari bingkai kebaktian (amal
sholeh) kepada Allah.
b. Tentang Perspektif Gender
Kata gender adalah sebuah konsep yang menunjuk pada sistem peranan
dan relasi antara laki-laki dan perempuan yang ditentukan oleh perbedaan
biologis melainkan oleh lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Secara
teknis operasional perspektif gender adalah cara pandang yang digunakan untuk
membedakan segala sesuatu yang bersifat normatif dan bilogis dengan segala
sesuatu yang merupakan produk sosial budaya dalam bentuk kesepakatan dan fleksibilitas
yang dinamis. Dalam pengertian ini, ajaran Islam memberikan dukungan terhadap
eksistensi keadilan gender melalui prinsip-prinsip umum yang dikandungnya.
Prinsip-prinsip dimaksud adalah: (1) Laki-laki dan perempuan
sama-sama memiliki potensi yang sama untuk menjadi hamba Allah yang ideal yang
disebut mutaqin. (2) Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah Allah di muka
bumi samasama memiliki tugas memakmurkan bumi, (3) Laki-laki dan perempuan sama-sama
menerima perjanjian primordial, (4) Laki-laki dan perempuan sama-sama terlibat
dalam drama kosmis, (5) laki-laki dan perempuan sama-sam berpotensi meraih
prestasi. Pandangan Al-Qur’an tentang kesetaraan gender di atas mesti diletakkan
dalam figura proses peningkatan kualitas dan peradaban manusia yang dicirikan
dengan hubungan antar manusia yang adil, demokratis, egalitarian, dan
manusiawi.
c. Analisis Gender atas Wawasan Muhamamdiyah tentang Kepemimpinan
Perempuan
Sebagai sebuah lembaga yang berkecimpung dalam kajian hukum dan
melahirkan tuntuna hukum, produk Majelis Tarjih dapat dikelompokkan sebagai hasil
pemikiran dalam bidang hukum. Meskipun berbasiskan teks-teks keagamaan berupa
Al-Qur’an dan AlHadis, pada hakekatnya fiqh adalah ekspresi pemikiran atau buah
intelektual manusia sebagai hasil interpretasi dialogis antara
persoalanpersoalan yang mengedepan dengan teks-teks dimaksud.
Ini berarti sebagai buah pemikiran fiqh hadir tidak dalam
ruang dan waktu yang vacum. Dalam ungkapan lain sebagai karya intelektual fiqh
senyatanya bergumul dengan fakta-fakta yang hidup di tengah masyarakat yang mengitari
kemunculannya. Ketika fakta-fakta yang muncul di tengah kehidupan di setiap
tempat dan waktu muncul silih berganti dan beragam maka menghadirkan fiqh
produk zaman klasik yang mengusung semangat zamannya yang khas, yang tidak
jarang sarat dengan aroma yang misoginis, pada era kekinian adalah sebuah sikap
pemaksaan intelektual.
Dengan demikian
memunculkan fiqh yang merespon semangat kekinian, meskipun tidak mudah, adalah
salah satu upaya yang niscaya karena merupakan satu dari sekian alternatif panduan
lahirnya relasi antar manusia yang lebih “sehat” yang pada gilirannya berujung
dengan munculnya generasi yang lebih berkualitas. Karena itu memperjuangkan
hadirnya fiqh dengan tampilannya yang humanistik, egaliter, demokratis, dan
berkeadilan dapat disejajarkan dengan upaya mewujudkan keadilan sosial yang
bersifat luas yang bertumpu pada perbedaab etnis, ras, agama, dan kawasan.
Karena itu sekecil
apapun upaya yang mengarah ke fiqh model demikian dapat dinilai sebagai jihad
intelektual yang sangat mulia yang patut dicatat dalam lembaran sejarah ummat
manusia. Beranjak dari keterangan di atas, kajian Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan
Pusat Muhammadiyah tentang kepemimpinan perempuan yang diwujudkan dalam
pembahasannya tentang kepemimpinan perempuan dalam bidang politik dan
kepemimpinan perempuan dalam ibadah (khususnya hukuman perempuan menjadi imam
shalat bagi jama’ah yang di dalamnya terdapat laki-laki), kajian Muhammadiyah yang
menunjukkan keberpihakannya terhadap kesetaraan perempuan dengan laki-laki. Hal
itu terlihat pada semangat yang ditampilkan putusan, fatwa serta wacana yang disajikan
yang memberikan tempat bagi perempuan untuk berperan sebagaimana halnya laki-laki.
Apresiasi terhadap
kesetaraan gender dala kajian Majelis Tarjih di atas semakin bermakna jika
memperhatikan lahirnya putusan-putusan hukum perempuan menjadi hakim dan perempuan
aktif di dunia perpolitikan pembahasan yang dilakukan oleh berbagai organisasi
atau lembaga sejenis di Indonesia. Hal yang juga patut diberikan catatan penting
dalam rangkaian kajian di atas adala keberpihakan tersebut secara cerdas
dilandasi dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender yang dirujuk sebagai panduan
alur dari argumentasi yang digunakan untuk putusan-putusannya.
Berkenaan dengan hukum perempuan menjadi imam shalat bagi
jama’ah (yang di dalamnya terdapat) laki-laki, dapat pula dicatat sebagai
keberanian Majelis Trajih untuk lagi-lagu berpihak pada kesetaraan. Karena, meskipun
persoalan ini bukan persoalan relatif baru namun menghadirkannya di hadapan
ummat yang telah terbiasa dengan panduan fiqh yang “baku”, bukanlah upaya yang mudah
dan karenanya pula patut diapresiasi.
kesimpulan
Dari pemaparan yang diketengahkan dari awal hingga akhir kiranya
dapat disimpulkan bahwa wawasan Muhammadiyah tentang kepemimpinan perempuan
menampilkan keberpihakan pada kesetaraan gender. Keberpihakan itu tampak pada
putusan, fatwa serta wacana yang disajikannya yang memberikan kesempatan bagi
perempuan untuk tampil menjadi pemimpin dalam berbagai tingkatannya di ruang publik.
Bahkan, memperhatikan waktu kemunculannya, kajian Majelis Tarjih tentang hukum
perempuan dalam dunia politik serta menjadi hakim dapat dipandang sebagai
pioner dalam bidangnya.