Jumat, 01 Juli 2016

Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah “Rausanfikr” bagi negri & Muhammadiyah

Kecendikiawanan hadir dalam penghayatan penderitaan manusia atas penderitaan lainnya. Tetapi itu saja belum cukup bila tidak bergerak untuk kerja-kerja penyadaran dan mengarahkan tujuan dan cita-cita mereka. Bagi kuntowijoyo cendekiawan bukanlah sosok yang berjalan di atas mega, pemikirannya melangit, tinggal dimenara semesta, tetapi cendekiawan adalah pemikir yang tidak tercerabut dari  akar-akar sosialnya, yang menginjakan kaki dibumi dan memiliki kesadaran akan tanggung jawab sosial untuk memusnakah kejahatan, kepedulian terhadap kaum dhu’afa, orang lemah, membela kaum mustad’afin, tertindas, orang yang dilemahkan oleh struktur kekuasaan yang dholim atau dipinggirkan oleh sistem ekonomi, politik, sosial, budaya yang tidak adil. Ali Syariati menyebutnya dengan rausanfikr orang yang mampu  memunculkan tanggungjawab dan kesadaran dalam dirinya, serta memberi arah intelektual ke masyarakat.

Tujuan dan tanggung jawab utamanya adalah untuk membangkitkan karunia Tuhan yang mulia menyatu dengan kesadaran diri melakukan transformasi sosial bersama masyarakat. Yaitu membangun suatu gerakan-gerakan yang setia terhadap nilai-nilai luhur untuk membangun sejarah kemanusiaan dalam rangka membangkitkan karunia Tuhan dalam bumi.
Seabad lalu Muhammadiyah mendeklarasikan diri menjadi mujaddid yang merasa amanah keagamaan belum usai, dan estafet jihad membingkai dalam garis hidup seorang Ahmad Dahlan. Mengepakkan sayap da’wahnya Muhammadiyah lalu memunculkan IMM dalam kerangka Ortomnya. Ia lahir bukan hanya sebagai pelarian karena HMI akan dibubarkan, namun lebih dari itu ia dicita-citakan menjadi rausanfikr bagi Muhammadiyah.

Dalam perjalanannya kini dipertanyakan, sudahkan sistem pengkaderan yang ada mampu menjadi semangat juang kedepan layaknya sebuah kitab suci bagi sebuah agama atau hanya sebuah catatan pinggiran yang tersingkir dari perenungan para rausanfikr ini. Sebuah bingkai yang harus kembali ditawarkan pada rausanfikr yang terlanjur haus untuk bergerak.
Seiring Perkembangan Indonesia kini mahasiswa selalu dianggap mampu untuk menentukan dimana letak sisi idealisme seorang manusia sebagai kader kemanusiaan maupun kaderbangsa sekalipun.

Selain itu juga pemilik tertinggi control power terhadap penguasa negeri ini. Tak mungkin luput dari ingatan kita bahwa negara ini merdeka juga karena pergerakan kaum intelektual, sebut saja Soekarno maupun Hatta, dan tentu sebelum itu Ahmad Dahlan telah menjadi manusia yang memiliki kegelisahan agama dan bangsa.

Hal yang menarik kemudian adalah ada apa dengan IMM ini? Ia bukanlah barang antik, ia mahasiswa bukan yang lain, ia organisasi yang jelas administrasi dan strukturnya bukan yang lain, lalu mengapa ia terasa belum memunculkan rausanfikr bagi bangsa ini? bahkan muncul kegelisahan dalam anggotanya untuk mampu merubah bangsa ini? pertanyaan tersebut bukanlah kiasan semata tapi muncul dari sisa-sisa idealisme yang terkikis oleh sisi hedon mahasiswa, kepayahan akan keuangan dan sibuknya mereka menyelesaikan tugas kampus. Untuk itulah perlu adanya cara pandang dunia atau world view dalam membingkai sistem pengkaderan kita yang sudah ada.

Yang menjadi pola pikir kader mahasiswa Muhammadiyah adalah bahwa ia adalah kader kemanusiaan, kader bangsa, kader persyarikatan dan kader ikatan. Falsafah ini mengharuskan seorang kader untuk berfikir bahwa IMM haruslah menjadi rahmatan lil alamin dan bukan hanya rahmat bagi ikatan sendiri. Seiring pemahaman itu yang menjadi masalah adalah sering IMM dianggap terlalu eksklusif dalam gerakannya bahkan bisa dikatakan jarang nampak kepermukaan. Sikap inklusif adalah sebuah kemutlakan bagi setiap manusia tak terkecuali bagi kader IMM sendiri. Sikap terbuka yang akan membuat mereka yang melihatnya menjadi faham bahwa IMM menpunyai identitas diri dan bukan hanya sebagai katak dalam tenpurung ataupun katak dalam sumur yang hanya tau langit seluas lubang sumur.

IMM memang menjadi ortom bagi Muhammadiyah, namun bukan berarti harus selalu bergantung pada Muhammadiyah, ia harus memiliki independensi dalam bersikap begitu pula dalam setiap kadernya. Dalam kacamata penulis sendiri setidaknya memiliki dua unsur yang tak mungkin terpisahkan yakni Modal dan Kepercayaan Diri. Tentu modal dalam pergerakan bukanlah sekedar materi walaupun hal itu tidak mungkin dipisahkan, namun modal intelektual dan wawasan adalah hal yang wajib dimiliki untuk menumbuhkan sense of crisis bagi setiap pemiliknya. Terlalu sering kita mendengar bahwa yang ikut demo dijalanan sebenarnya banyak dari mereka yang tidak tahu apa, mengapa bahkan siapa yang ia demo.

Serupa dengan hal itu tak ayal jika jaringan menjadi modal yang begitu penting dalam aplikasi setiap program kerja, walau sebenarnya jika mau sedikit memutar otak kita tahu bahwa reason dari segala kegiatan kader adalah berasas pada filosofi yang telah dibangun yakni kemanusiaan, kebangsaan, keagamaan, persyarikatan dan ikatan, bukan materi maupun kekuasaan.
Kepercayaan diri dianggap penting tentu bukan tanpa alasan, namun betapa banyaknya orang yang memiliki banyak modal tapi masih ragu dengan dirinya sendiri. Memang kepercayaan diri pada sebagian orang akan tumbuh seiring dengan pertumbuhan modal yang dimiliki, namun bukan berbarti jika modal itu baru satu langkah kita hanya bisa maju satu langkah.

Contohlah bahwa ketika wawasan dan intelektual itu menjadi modal awal maka modal akan datang dengan sendirinya, hal ini tentu dengan adanya sebuah integritas intelektual yang nanti akan dijelaskan, bahwa “jika kau punya materi maka kau harus menjaganya, jika kau punya ilmu maka ia yang akan menjagamu”.

Sebagai penjelasan sederhana reformasi tidaklah selalu dianggap bahwa pimpinan tertinggi adalah malaikat yang bisa merubah semuanya, namun ia harus mengerti bahwa tugasnya adalah merubah etos dirinya kebawah menuju hal yang lebih baik. karena baik di atas maupun di bawah memiliki sisi yang sama pentingnya. Namun yang tidak boleh adalah menunggu siapa seorang rausanfikr datang, tapi bagaimana setiap  kader mampu meyakinkan dirinya bahwa ia adalah rausanfikr dalam Ikatan itu. Tak ada lagi keluhan mengapa tak ada yang merubah dari atas ataupun dengan anggapan bahwa kader IMM ini akan berubah jika ada yang merubahnya, tetapi sebaliknya setiap individu memiliki keyakinan bahka ia sang pembawa peubahan yang lebih baik.

Tentunya mahasiswa selalu diidentikkan dengan sikap akademis dan kritis terhadp permasalahan yang ia hadapi. Sehingga bagaimanapun Integritas intelektual mendorong seseorang untuk melihat suatu persoalan dari sudut pandang yang menyeluruh. Integritas intelektual mendorong seseorang untuk tetap kritis dan objektif dalam menyikapi setiap masalah yang ada.
Disini tidaklah lagi IMM membicarakan pentingnya intelektual bagi pola pikir mereka, namun secara integral harus melompat pada hal integrasi intelektual. Hal ini harus dimaklumi sebagi lompatan paradigma berfikir mahasiswa sebagai sebuah alasan yang semestinya mahasiswa adalah source of intellectual. Terlepas dari definisinya sendiri, integritas intelektual berkelut pada dua hal penting yakni Intellectual Application dan Intellectual Responsible.

Dua hal yang tak mungkin terpisahkan bagai sisi mata uang dalam sikap integritas intelektual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar