Angkatan
Muda Muhammadiyah merupakan pilar strategis dalam gerakan Muhammadiyah.
Bagaimana sebaiknya kaum muda yang sangat penting ini memfokuskan perhatian dan
gerakannya?
DR. H
Haedar Nashir, M.Si
Ketika Kiai
Haji Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, sejarah mencatat generasi muda yang
menjadi murid Kiai sekaligus anak panah gerakan Islam yang lahir di kampung
Kauman ini. Sebutlah nama Fakhruddin, Rh. Hadjid, Ki Bagus Hadikusumo, Ahmad
Badawi, dan lain-lain, yang kelak di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh penting
Muhammadiyah. Fakhruddin tampil menjadi tokoh yang kritis dan disegani penjajah
Belanda, bahkan bersama Soerjopranoto menggerakkan aksi buruh pabrik gula di
Bantul. Kiai Hadjid menjadi penyambung spirit dan pikiran Kiai Dahlan. Ki Bagus
Hadikusumo bahkan selain menjadi Ketua PP Muhammadiyah periode 1943-1953, juga
menjadi tokoh kunci dalam Piagam Jakarta tahun 1945. Sedangkan, Ahmad Badawi
menjadi Ketua Pimpinan Pusat di masa ujung pemerintahan Soekarno tahun
1962-1968, yang sangat menentukan kala itu. Nama-nama lain dapat ditambahkan,
yang spirit kehadirannya benar-benar menjadi pendukung dan penggerak utama
Muhammadiyah.
Sejarah
Muhammadiyah terus berkembang. Dari rahim Persyarikatan ini selalu tampil
generasi muda yang memiliki spirit ke-islaman yang tinggi, sekaligus penuh
gairah dalam menjalankan misi dakwah Muhammadiyah di lapangan kemasyarakatan.
Di seluruh pelosok tanah air, Muhammadiyah generasi al-sabiqun al-awwalun
maupun sesudahnya, benar-benar ikut ditegakkan oleh kaum muda yang menjadi
pilar gerakan Muhammadiyah. Sejak itulah, lahir idiom pelopor, pelangsung, dan
penyempurna amal-perjuangan Muhammadiyah. Lahir dan tersebar angkatan muda
Muhammadiyah yang benar-benar bekerja di ranah dakwah kemasyarakatan hingga ke
akar-rumput.
Di seluruh pelosok tanah air anak-anak muda Muhammadiyah yang terwadahi dalam organisasi otonom seperti Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Tapak Suci Putera Muhammadiyah, Hizbul Wathan Muhammadiyah bahu-membahu menghidupkan syiar Islam yang menjadi ranah gerakan Muhammadiyah. Demikian pula anak-anak dari keluarga Muhammadiyah. Mereka bergabung menjadi pilar gerakan dakwah. Menggairahkan jamaah masjid dan mushalla. Menyelenggarakan dan menjadi aktor dalam menyelenggarakan peringatan Hari-hari Besar Islam. Tidak kalah pentingnya menjadi bagian dan aktor penggerak masyarakat yang terintegrasi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan setempat, baik di kampung maupun di kota. Angkatan Muda Muhammadiyah itu benar-benar menjadi pelaku-pelaku pembinaan umat dan masyarakat di ranah jama’ah.
Dari
penggemblengan kancah dakwah itulah lahir kader-kader Muhammadiyah yang
militan, yang idealisme dan langkah-langkah sehari-harinya benar-benar menjadi
pelaku gerakan Muhammadiyah yang menggarap lahan dakwah dan tajdid di lapangan
masyarakat. Kaum muda Muhammadiyah yang demikian meski hidup dalam kesahajaan
mereka benar-benar menjadi anak-panah (kader) gerakan Muhammadiyah yang
militan, tangguh, berkomitmen, berkhidmat, dan memiliki integritas serta
keteladanan yang utama dalam gerakan Muhammadiyah. Umat, warga masyarakat, dan
anggota Muhammadiyah di tingkat bawah atau jamaah sungguh merasakan kiprah
dakwah Angkatan Muda Muhammadiyah yang bersifat meneguhkan dan memajukan
kehidupan sekitar. Itulah sosok generasi pelopor, pelangsung, dan penyempurna
gerakan Muhammadiyah yang mampu memadukan iman, ilmu, dan amal untuk kemajuan
hidup masyarakat.
Kini dunia kian
berubah. Tarikan politik dan mobilitas sosial semakin meluas hingga masuk ke
relung-relung setiap gerakan organisasi kemasyarakatan (ormas) di lingkungan
umat Islam. Politik bahkan telah menjelma menjadi panglima baru, sekaligus
menjadi pesona kaum muda yang hingar-bingar dan penuh kilatan cahaya. Tentu
dalam dunia yang semakin berorientasi nilai-guna (pragmatisme), mobilitas
politik itu menjadi sangat penting dan strategis. Mobilitas politik semacam itu
sekali lagi penting dan membuka ruang kaum muda untuk berkiprah di ranah
politik kebangsaan untuk kemajuan bangsa. Tak ada yang membantah penting,
strategis, dan manfaat mobilitas di ranah politik-kekuasaan.
Memang, dapat
pula dipahami betapa kaum muda Muhammadiyah memerlukan mobilitas diri agar
kehidupan mereka secara individual tidak terlantar bahkan berkcukupan, sehingga
dapat melaksanakan peran dakwah. Namun, kondisi dan mobilitas diri yang
demikian sebenarnya tidaklah terlalu mencemaskan karena pada umumnya memiliki
modal pendidikan dan keluarga yang relatif memadai, bahkan banyak yang
berkecukupan. Muhammadiyah sendiri tentu tidak akan menuntut angkatan muda dan
kadernya melebihi takaran kemampuan dan apa yang dimilikinya. Apalagi, sampai
mendzalimi kader yang memang tidak perlu dituntut untuk berkiprah melebihi
kemampuan yang dimilikinya. Muhammadiyah juga menyadari bahwa para kadernya,
lebih-lebih angkatan mudanya, harus diperhatikan nasib dan kondisinya sejauh
Muhammadiyah sendiri memiliki kemampuan untuk itu.
Namun jika
tuntutan terlalu berlebih maka Muhammadiyah tidak dapat menahan apa pun dari
hasrat mobilitas kaum muda dalam kancah politik. Tapi, manakala memerhatikan
militansi kaum muda dari gerakan-gerakan Islam lain yang lahir setelah
reformasi, yang dikenal luas dan mengisi ruang publik saat ini, sungguh dapat diambil
hikmah dan perbandingan. Dalam kondisi bersahaja mereka dapat berkiprah dalam
perjuangan dakwah dengan penuh militansi, seolah tak memerhatikan nasib
hidupnya di dunia. Tentu dalam posisi moderat, Muhammadiyah tidak menghendaki
kader mudanya hidup terlantar, tetapi apakah harus berhenti di titik mobilitas
diri dalam perjuangan? Apakah spirit berdakwah sebagaimana para pendahulu
Muhammadiyah yang mampu berkiprah dalam kondisi minimal tetapi melahirkan
dinamika gerakan yang luar biasa di masa kejayaan?
Di posisi
inilah semua pihak di tubuh Muhammadiyah, termasuk angkatan mudanya, kiranya
dapat belajar dari spirit novel dan film Laskar Pelangi yang berbulan-bulan
mengisi ruang publik Indonesia. Dalam kondisi serba terbatas mampu memelihara
dan mewujudkan spirit pergerakan yang luar biasa. Sementara, kita dalam kondisi
yang cukup bahkan berlebih, kadang kehilangan spirit untuk bergerak dengan
militansi, komitmen, dan pengkhidmatan yang mencukupi apalagi melebihi.
Barangkali perlu perenungan dan muhasabah diri, adakah sesuatu yang bersifat
spirit atau idealisme yang hilang dari napas gerakan kaum muda
Muhammadiyah? Tangga duniawi memang penting, tetapi manakala dikejar
tanpa perimbangan, maka sering mengganggu dan memperlemah gerakan untuk
berkiprah di lahan dakwah yang memerlukan ketulusan dan kesahajaan.
Kita harus
meneladani perjuangan Nabi Muhammad saw yang dengan nama Nabi akhir zaman itu
Muhammadiyah menisbahkan dirinya. Demikian juga perjuangan Kiai Dahlan, para
pendahulu, dan para tokoh serta mubaligh Muhammadiyah di pelosok-pelosok tanah
air yang penuh ketulusan, kesahajaan, dan pengkhidmatan gigih memerjuangkan
gerakan Muhammadiyah. Misi Muhammadiyah yang luhur itu tidak bisa ditunda
dengan mobilitas diri yang tidak tahu persis sampai kapan dapat dipertukarkan.
Memang, positif sekali manaka perjuangan menggerakkan Muhammadiyah sejalan
dengan peningkatan mobilitas diri, tetapi dinamika hidup tidak dapat dikatrol
dengan nalar instrumental seperti itu. Sejauh percaya dan yakin akan rizki
Allah serta Rahman dan Rahim-Nya, maka siapa pun yang berjuang di jalan Allah
tentu akan memeroleh pertolongannya.
Secara umum
sebenarnya kondisi dan mobilitas hidup angkatan muda Muhammadiyah tidaklah
dramatik. Bahkan, relatif cukup dan tidak mengkhawatirkan. Tetapi, yang
dikhawatirkan ialah pragmatisme, yakni mengejar mobilitas hidup lebih-lebih di
dunia politik praktis yang serba berorientasi nilai-guna dengan mengejar
setinggi-tingginya sambil meninggalkan gelanggang pergerakan. Pragmatisme
lainnya ialah melakukan “transmigrasi politik” ramai-ramai yang meninggalkan
gelanggang pergerakan dakwah seperti yang dilakukan para aktivis di sejumlah
tempat. Bahkan, ada sebuah amal usaha yang para pimpinan struktural dan civitas
akademikanya berbondong-bondong menjadi calon anggota legislatif, padahal
mereka telah memeroleh pekerjaan dan amanah yang harus dijalankan. Siapa yang
dapat mencegah pragmatisme semacam ini, yang mengalihkan idealisme menjadi
mobilitas diri yang serba berorientasi nilai-kegunaan yang menyala-nyala hingga
meninggalkan amanah yang sebenarnya juga selama ini ada nilai kompensasinya
yang memadai.
Kita sangat
percaya masih banyak kaum muda Muhammadiyah yang memiliki idealisme yang tinggi
dalam membesarkan dan memperjuangkan Muhammadiyah di seluruh lini dan pelosok
tanah air. Mereka berdakwah dan menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh
pengkhidmatan dan tanpa hitung-hitungan mobilitas diri. Mobilitas diri insya
Allah selalu menyertai para kader yang memiliki idealisme gerakan. Demikian
pula mereka yang berkiprah di ranah politik sejauh tetap memelihara komitmen
dan kiprah Muhammadiyah akan bermanfaat bagi gerakan Muhammadiyah, sebagaimana
mereka yang berkiprah di ranah lainnya. Namun, perlu dijaga khittah dan
batas-batas gerakan Muhammadiyah yang tidak boleh dihimpitkan dengan perjuangan
politik praktis, termasuk dihormatinya larangan rangkap jabatan.
Muhammadiyah
itu cukup kenyang dengan pasang-surut dan gelombang politik, sehingga kembali
ke khittah dan kepribadian Muhammadiyah itu benar-benar merupakan pilihan yang
matang sebagai buah dari tempaan dan pengalaman sejarah. Di sinilah para kader
Muhammadiyah, termasuk atau lebih-lebih kader Angkatan Muda Muhammadiyah, perlu
memahami dan menyikapi secara jernih tentang berbagai kebijakan dan langkah
untuk menjaga kelangsungan dan kemurnian Muhammadiyah dari tarikan-tarikan
politik-praktis. Sungguh, alangkah eloknya manakala kader Angkatan Muda
Muhammadiyah dan segenap anggota Muhammadiyah justru berada di garda
depan dalam menjaga kepribadian dan khittah Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah
yang berki-prah di ranah kemasyarakatan dan tidak berkiprah di lapangan
politik-praktis.
billahi fi sabilil haq. Fastabiqul Khairat!