Rabu, 16 September 2015

ANGKATAN MUDA MUHAMMADIYAH DAN SPIRIT DAKWAH KEMASYARAKATAN


Angkatan Muda Muhammadiyah merupakan pilar strategis dalam gerakan Muhammadiyah. Bagaimana sebaiknya kaum muda yang sangat penting ini memfokuskan perhatian dan gerakannya?
DR. H Haedar Nashir, M.Si

  Ketika Kiai Haji Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, sejarah mencatat generasi muda yang menjadi murid Kiai sekaligus anak panah gerakan Islam yang lahir di kampung Kauman ini. Sebutlah nama Fakhruddin, Rh. Hadjid, Ki Bagus Hadikusumo, Ahmad Badawi, dan lain-lain, yang kelak di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh penting Muhammadiyah. Fakhruddin tampil menjadi tokoh yang kritis dan disegani penjajah Belanda, bahkan bersama Soerjopranoto menggerakkan aksi buruh pabrik gula di Bantul. Kiai Hadjid menjadi penyambung spirit dan pikiran Kiai Dahlan. Ki Bagus Hadikusumo bahkan selain menjadi Ketua PP Muhammadiyah periode 1943-1953, juga menjadi tokoh kunci dalam Piagam Jakarta tahun 1945. Sedangkan, Ahmad Badawi menjadi Ketua Pimpinan Pusat di masa ujung pemerintahan Soekarno tahun 1962-1968, yang sangat menentukan kala itu. Nama-nama lain dapat ditambahkan, yang spirit kehadirannya benar-benar menjadi pendukung dan penggerak utama Muhammadiyah.

  Sejarah Muhammadiyah terus berkembang. Dari rahim Persyarikatan ini selalu tampil generasi muda yang memiliki spirit ke-islaman yang tinggi, sekaligus penuh gairah dalam menjalankan misi dakwah Muhammadiyah di lapangan kemasyarakatan. Di seluruh pelosok tanah air, Muhammadiyah generasi al-sabiqun al-awwalun maupun sesudahnya, benar-benar ikut ditegakkan oleh kaum muda yang menjadi pilar gerakan Muhammadiyah. Sejak itulah, lahir idiom pelopor, pelangsung, dan penyempurna amal-perjuangan Muhammadiyah. Lahir dan tersebar angkatan muda Muhammadiyah yang benar-benar bekerja di ranah dakwah kemasyarakatan hingga ke akar-rumput.

  Di seluruh pelosok tanah air anak-anak muda Muhammadiyah yang terwadahi dalam organisasi otonom seperti Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Tapak Suci Putera Muhammadiyah, Hizbul Wathan Muhammadiyah bahu-membahu menghidupkan syiar Islam yang menjadi ranah gerakan Muhammadiyah. Demikian pula anak-anak dari keluarga Muhammadiyah. Mereka bergabung menjadi pilar gerakan dakwah. Menggairahkan jamaah masjid dan mushalla. Menyelenggarakan dan menjadi aktor dalam menyelenggarakan peringatan Hari-hari Besar Islam. Tidak kalah pentingnya menjadi bagian dan aktor penggerak masyarakat yang terintegrasi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan setempat, baik di kampung maupun di kota. Angkatan Muda Muhammadiyah itu benar-benar menjadi pelaku-pelaku pembinaan umat dan masyarakat di ranah jama’ah.

  Dari penggemblengan kancah dakwah itulah lahir kader-kader Muhammadiyah yang militan, yang idealisme dan langkah-langkah sehari-harinya benar-benar menjadi pelaku gerakan Muhammadiyah yang menggarap lahan dakwah dan tajdid di lapangan masyarakat. Kaum muda Muhammadiyah yang demikian meski hidup dalam kesahajaan mereka benar-benar menjadi anak-panah (kader) gerakan Muhammadiyah yang militan, tangguh, berkomitmen, berkhidmat, dan memiliki integritas serta keteladanan yang utama dalam gerakan Muhammadiyah. Umat, warga masyarakat, dan anggota Muhammadiyah di tingkat bawah atau jamaah sungguh merasakan kiprah dakwah Angkatan Muda Muhammadiyah yang bersifat meneguhkan dan memajukan kehidupan sekitar. Itulah sosok generasi pelopor, pelangsung, dan penyempurna gerakan Muhammadiyah yang mampu memadukan iman, ilmu, dan amal untuk kemajuan hidup masyarakat.

  Kini dunia kian berubah. Tarikan politik dan mobilitas sosial semakin meluas hingga masuk ke relung-relung setiap gerakan organisasi kemasyarakatan (ormas) di lingkungan umat Islam. Politik bahkan telah menjelma menjadi panglima baru, sekaligus menjadi pesona kaum muda yang hingar-bingar dan penuh kilatan cahaya. Tentu dalam dunia yang semakin berorientasi nilai-guna (pragmatisme), mobilitas politik itu menjadi sangat penting dan strategis. Mobilitas politik semacam itu sekali lagi penting dan membuka ruang kaum muda untuk berkiprah di ranah politik kebangsaan untuk kemajuan bangsa. Tak ada yang membantah penting, strategis, dan manfaat mobilitas di ranah politik-kekuasaan.
Memang, dapat pula dipahami betapa kaum muda Muhammadiyah memerlukan mobilitas diri agar kehidupan mereka secara individual tidak terlantar bahkan berkcukupan, sehingga dapat melaksanakan peran dakwah. Namun, kondisi dan mobilitas diri yang demikian sebenarnya tidaklah terlalu mencemaskan karena pada umumnya memiliki modal pendidikan dan keluarga yang relatif memadai, bahkan banyak yang berkecukupan. Muhammadiyah sendiri tentu tidak akan menuntut angkatan muda dan kadernya melebihi takaran kemampuan dan apa yang dimilikinya. Apalagi, sampai mendzalimi kader yang memang tidak perlu dituntut untuk berkiprah melebihi kemampuan yang dimilikinya. Muhammadiyah juga menyadari bahwa para kadernya, lebih-lebih angkatan mudanya, harus diperhatikan nasib dan kondisinya sejauh Muhammadiyah sendiri memiliki kemampuan untuk itu.

  Namun jika tuntutan terlalu berlebih maka Muhammadiyah tidak dapat menahan apa pun dari hasrat mobilitas kaum muda dalam kancah politik. Tapi, manakala memerhatikan militansi kaum muda dari gerakan-gerakan Islam lain yang lahir setelah reformasi, yang dikenal luas dan mengisi ruang publik saat ini, sungguh dapat diambil hikmah dan perbandingan. Dalam kondisi bersahaja mereka dapat berkiprah dalam perjuangan dakwah dengan penuh militansi, seolah tak memerhatikan nasib hidupnya di dunia. Tentu dalam posisi moderat, Muhammadiyah tidak menghendaki kader mudanya hidup terlantar, tetapi apakah harus berhenti di titik mobilitas diri dalam perjuangan? Apakah spirit berdakwah sebagaimana para pendahulu Muhammadiyah yang mampu berkiprah dalam kondisi minimal tetapi melahirkan dinamika gerakan yang luar biasa di masa kejayaan?
Di posisi inilah semua pihak di tubuh Muhammadiyah, termasuk angkatan mudanya, kiranya dapat belajar dari spirit novel dan film Laskar Pelangi yang berbulan-bulan mengisi ruang publik Indonesia. Dalam kondisi serba terbatas mampu memelihara dan mewujudkan spirit pergerakan yang luar biasa. Sementara, kita dalam kondisi yang cukup bahkan berlebih, kadang kehilangan spirit untuk bergerak dengan militansi, komitmen, dan pengkhidmatan yang mencukupi apalagi melebihi. Barangkali perlu perenungan dan muhasabah diri, adakah sesuatu yang bersifat spirit atau idealisme yang hilang dari napas gerakan kaum muda Muhammadiyah?  Tangga duniawi memang penting, tetapi manakala dikejar tanpa perimbangan, maka sering mengganggu dan memperlemah gerakan untuk berkiprah di lahan dakwah yang memerlukan ketulusan dan kesahajaan.

  Kita harus meneladani perjuangan Nabi Muhammad saw yang dengan nama Nabi akhir zaman itu Muhammadiyah menisbahkan dirinya. Demikian juga perjuangan Kiai Dahlan, para pendahulu, dan para tokoh serta mubaligh Muhammadiyah di pelosok-pelosok tanah air yang penuh ketulusan, kesahajaan, dan pengkhidmatan gigih memerjuangkan gerakan Muhammadiyah. Misi Muhammadiyah yang luhur itu tidak bisa ditunda dengan mobilitas diri yang tidak tahu persis sampai kapan dapat dipertukarkan. Memang, positif sekali manaka perjuangan menggerakkan Muhammadiyah sejalan dengan peningkatan mobilitas diri, tetapi dinamika hidup tidak dapat dikatrol dengan nalar instrumental seperti itu. Sejauh percaya dan yakin akan rizki Allah serta Rahman dan Rahim-Nya, maka siapa pun yang berjuang di jalan Allah tentu akan memeroleh pertolongannya.
Secara umum sebenarnya kondisi dan mobilitas hidup angkatan muda Muhammadiyah tidaklah dramatik. Bahkan, relatif cukup dan tidak mengkhawatirkan. Tetapi, yang dikhawatirkan ialah pragmatisme, yakni mengejar mobilitas hidup lebih-lebih di dunia politik praktis yang serba berorientasi nilai-guna dengan mengejar setinggi-tingginya sambil meninggalkan gelanggang pergerakan. Pragmatisme lainnya ialah melakukan “transmigrasi politik” ramai-ramai yang meninggalkan gelanggang pergerakan dakwah seperti yang dilakukan para aktivis di sejumlah tempat. Bahkan, ada sebuah amal usaha yang para pimpinan struktural dan civitas akademikanya berbondong-bondong menjadi calon anggota legislatif, padahal mereka telah memeroleh pekerjaan dan amanah yang harus dijalankan. Siapa yang dapat mencegah pragmatisme semacam ini, yang mengalihkan idealisme menjadi mobilitas diri yang serba berorientasi nilai-kegunaan yang menyala-nyala hingga meninggalkan amanah yang sebenarnya juga selama ini ada nilai kompensasinya yang memadai.

  Kita sangat percaya masih banyak kaum muda Muhammadiyah yang memiliki idealisme yang tinggi dalam membesarkan dan memperjuangkan Muhammadiyah di seluruh lini dan pelosok tanah air. Mereka berdakwah dan menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh pengkhidmatan dan tanpa hitung-hitungan mobilitas diri. Mobilitas diri insya Allah selalu menyertai para kader yang memiliki idealisme gerakan. Demikian pula mereka yang berkiprah di ranah politik sejauh tetap memelihara komitmen dan kiprah Muhammadiyah akan bermanfaat bagi gerakan Muhammadiyah, sebagaimana mereka yang berkiprah di ranah lainnya. Namun, perlu dijaga khittah dan batas-batas gerakan Muhammadiyah yang tidak boleh dihimpitkan dengan perjuangan politik praktis, termasuk dihormatinya larangan rangkap jabatan.


  Muhammadiyah itu cukup kenyang dengan pasang-surut dan gelombang politik, sehingga kembali ke khittah dan kepribadian Muhammadiyah itu benar-benar merupakan pilihan yang matang sebagai buah dari tempaan dan pengalaman sejarah. Di sinilah para kader Muhammadiyah, termasuk atau lebih-lebih kader Angkatan Muda Muhammadiyah, perlu memahami dan menyikapi secara jernih tentang berbagai kebijakan dan langkah untuk menjaga kelangsungan dan kemurnian Muhammadiyah dari tarikan-tarikan politik-praktis. Sungguh, alangkah eloknya manakala kader Angkatan Muda Muhammadiyah dan segenap anggota Muhammadiyah justru berada  di garda depan dalam menjaga kepribadian dan khittah Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah yang berki-prah di ranah kemasyarakatan dan tidak berkiprah di lapangan politik-praktis.

billahi fi sabilil haq. Fastabiqul Khairat!

Sekularisme Sederhana yang Seharusnya dalam Beragama

 
  perpecahan di negri kita tercinta ini begitu luas, keberagaman, suku, ras, agama dan lainnya kadang menjadi penyebab utama yang terjadi pada realitasnya. bahkan mirisnya yang terjadi dalam satu agama saja bisa begitu terpecah dan teramat tragis. seolah satu agama saja berperang dan mengklaim islamnya paling benar.

  kemudian muncul para tokoh yang kritis demi tercapainya tujuan kedamaian baik agama, suku, ras dan lain-lain. yang lebih utama munculnya satu ide ini adalah agar bisa melerai panasnya kelompok-kelompok di dalam Islam yang terpecah-belah yang mengklaim Islamnya paling benar.
yuk kita sekilas pahami secara sederhana apasih tujuan dari ide Sekularisme yang digagaskan oleh para cendekiawan-cendekiawan dan tokoh-tokoh agama.

  Sekularisme yang sudah sering didengungkan di telinga masyarakat awam memang memiliki komposisi yang teramat negatif. seolah sesat karena dipahami sebagai aktivitas seorang yang memedakan urusan agama dan urusan dunia masing-masing terpisah.

  padahal dalam makna sekularisme yang selalu diupayakan para cendekiawan Islam ataupun tokoh agama lainnya tak mentah seperti itu saja. Sekularisme yang diupayakan adalah tidak menjadikan urusan yang berbau non agama menjadi bagian dari agama, begitupula sesuatu yang seharusnya aktivitas agama tidak dicampuradukkan dengan yang non agama. sederhana saja, sebuah tradisi budaya yang cenderung mistik harusnya tetap sedemikian saja tanpa dicampurkan dengan ritual budaya mistis tersebut dengan ritual keagamaan. semisal sebuah peringatan ritual ratu pantai selatan seperti sesajen maka jangan dimasukkan didalamnya unsur agama seperti mengaji, do'a-do'a dalam kitab suci ataupun kegiatan keagamaan lainnya.

  lalu apa yang menjadi bagian agama tidaklah dilebihkan ataupun dikurangkan dengan bagian dari budaya yang bukan dari agama. contoh sederhannya seperti membaca Al-Qur'an adalah anjuran dan tidak harus dibatasi waktu-waktu tertentu, namun jika tiba-tiba melembagakan satu surath saja dalam kitab suci tersebut dan di baca pada hari tertentu serta selalu dilakukan dengan cara yang sama terus-menerus maka itu bukan sesuatu yang ada dari agama karena ada unsur melebih-lebihkan ataupun mengurang-ngurangi yang awalnya bukan dari kebiasaan keagamaan dari sumbernya (Islam, Muhammad saw)

  Sekularisme seperti itulah yang dimaksudkan dan diharapkan dapat terbentuk pada masyarakat Multikultural. karena perihal penggabungan agama dan non agama dalam aktivitas atau sebaliknya itu menjadi sebuah hal yang teramat memecah belah dalam satu agama karena mengakui diri sebagai arah yang paling benar. tujuan sekularisme tentunya dalah untuk bisa meluruskan perihal yang baik dan benar tetap berada kepada yang baik dan benar. yang salah tetaplah salah dan tidak terbalik apalagi tercampur dan yang lebih parah lagi jangan sampai membela sesuatu yang salah dan menyalahkan yang benar.

  itu adalah contoh sederhana Sekularisme yang diperjuangkan di masa kini sebagai bagian untuk berada di jalan yang lurus dalam beragama dan tetap benar dalam abdi pada Tuhan semesta alam. mari buka pemikiran dan terus berjuang untuk terus menggali ilmu kegamaan demi terwujudnya negara damai dalam keberagaman.

Senin, 07 September 2015

Mengenal Shalat Duha, Manfaatnya dan Yuk Lakukan!


Pengertian Shalat Dhuha 

Shalat Dhuha adalah shalat sunah yang dilakukan setelah terbit matahari sampai menjelang masuk waktu zhuhur. Afdhalnya dilakukan pada pagi hari disaat matahari sedang naik ( kira-kira jam 7-10 pagi). Shalat Dhuha lebih dikenal dengan shalat sunah untuk memohon rizki dari Allah, berdasarkan hadits Nabi : ” Allah berfirman : “Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat pada waktu permulaan siang ( Shalat Dhuha ) niscaya pasti akan Aku cukupkan kebutuhanmu pada akhir harinya “ (HR.Hakim dan Thabrani).


Hadits Rasulullah SAW terkait Shalat Dhuha

  • Barang siapa shalat Dhuha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana disurga” (H.R. Tirmiji dan Abu Majah)
  • “Siapapun yang melaksanakan shalat dhuha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan.” (H.R Tirmidzi)
Manfaat dan Makna Shalat Dhuha

Ada yang mengatakan bahwa shalat dhuha juga disebut shalat awwabin. Akan tetapi ada juga yang mengatakan bahwa keduanya berbeda karena shalat awwabin waktunya adalah antara maghrib dan isya.
Waktu shalat dhuha dimulai dari matahari yang mulai terangkat naik kira-kira sepenggelah dan berakhir hingga sedikit menjelang masuknya waktu zhuhur meskipun disunnahkan agar dilakukan ketika matahari agak tinggi dan panas agak terik. Adapun diantara keutamaan atau manfaat shalat dhuha ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud dan Ahmad dari Abu Dzar bahwa Rasulullah saw bersabda,”Hendaklah masing-masing kamu bersedekah untuk setiap ruas tulang badanmu pada setiap pagi. Sebab setiap kali bacaan tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh orang lain agar melakukan amal kebaikan adalah sedekah, melarang orang lain agar tidak melakukan keburukan adalah sedekah. Dan sebagai ganti dari semua itu maka cukuplah mengerjakan dua rakaat shalat dhuha.”
Juga apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari Buraidah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Dalam tubuh manusia itu ada 360 ruas tulang. Ia harus dikeluarkan sedekahnya untuk tiap ruas tulang tersebut.” Para sahabat bertanya,”Siapakah yang mampu melaksanakan seperti itu, wahai Rasulullah saw?” Beliau saw menjawab,”Dahak yang ada di masjid, lalu pendam ke tanah dan membuang sesuatu gangguan dari tengah jalan, maka itu berarti sebuah sedekah. Akan tetapi jika tidak mampu melakukan itu semua, cukuplah engkau mengerjakan dua rakaat shalat dhuha.”
Didalam riwayat lain oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairoh berkata,”Nabi saw kekasihku telah memberikan tiga wasiat kepadaku, yaitu berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, mengerjakan dua rakaat dhuha dan mengerjakan shalat witir terlebih dahulu sebelum tidur.”
Jumhur ulama mengatakan bahwa shalat dhuha adalah sunnah bahkan para ulama Maliki dan Syafi’i menyatakan bahwa ia adalah sunnah muakkadah berdasarkan hadits-hadits diatas. Dan dibolehkan bagi seseorang untuk tidak mengerjakannya.

Cara melaksanakan Shalat Dhuha :

Shalat Dhuha minimal dua rakaat dan maksimal duabelas rakaat, dilakukan secara Munfarid (tidak berjamaah), caranya sebagai berikut
  • Niat
  • Takbiratul Ikhram
  • Membaca doa Iftitah
  • Membaca surat al Fatihah
  • Membaca satu surat didalam Alquran. Afdholnya rakaat pertama membaca surat Asy-Syam  dan rakaat kedua surat Al Lail  
  • Ruku’ dan membaca tasbih tiga kali
  • I’tidal dan membaca bacaannya
  • Sujud pertama dan membaca tasbih tiga kali
  • Duduk diantara dua sujud dan membaca bacaanya
  • Sujud kedua dan membaca tasbih tiga kali
  • Setelah rakaat pertama selesai, lakukan rakaat kedua sebagaimana cara diatas, kemudian Tasyahhud akhir setelah selesai maka membaca salam dua kali. Rakaat-rakaat selanjutnya dilakukan sama seperti contoh diatas.

Bacaan Doa Sholat Dhuha Lengkap Bahasa Arab – Bahasa Indonesia dan Artinya

اَللهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقَى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْن


Artinya: “Ya Alloh, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuha-Mu, keagungan adalah keagungan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu, Ya Alloh, apabila rezekiku berada di atas langit maka turunkanlah, apabila berada di dalam bumi maka keluarkanlah, apabila sukar mudahkanlah, apabila haram sucikanlah, apabila jauh dekatkanlah dengan kebenaran dhuha-Mu, kekuasaan-Mu (Wahai Tuhanku), datangkanlah padaku apa yang Engkau datangkan kepada hamba-hambaMu yang soleh”.

Tips Sederhana Melaksanakan Shalat Duha

Jikapun tak hafal do'a shalat duha, tapi ingin melakukan, lakukanlah karena niatmu pada Tuhan adalah yang lebih utama
tak perlu menyediakan waktu khusus, karena dapat dilakukan dua raka'at. maka laukanlah di sela kegiatan bila sibuk bekerja atau kegiatan lain, seolah izin sebentar ke kamar kecil. karena tak memakan waktu lama.
selalu melakukannya rutin dan tak perlu dipaksakan banyak raka'atnya. ketulusan walau sedikit lebih baik daripada banyak namun tak sepenuh hati.

Yuk mari Shalat Duha sebagai apresiasi rasa syukur kita pada Allah, yang akhirnya nanti justru kita kembali yang mendapatkan kelebihan Rahmat dari Allah sang pengasih. semoga bermanfaat dan selalu Fastabiqul Khairat!

Minggu, 06 September 2015

Hadis-Hadis Keutamaan Shalat Berjamaah



Dari Ibnu Umar ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian, dengan dua puluh tujuh derajat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Shalat seseorang dengan berjamaah itu dilipatkan dua puluh lima lipat atas shalat sendiri yang dikerjakan di rumah atau di pasar. Hal itu apabila ia berwudlu dengan sempurna kemudian keluar menuju ke masjid dengan niat hanya untuk shalat, maka setiap kali ia melangkah derajatnya dinaikkan dan dan kesalahan [dosa]nya diturunkan. Lalu ketika ia melakukan shalat, malaikat senantiasa memohonkan ampunan dan rahmat untuknya, selama ia masih tetap berada di tempat shalatnya dan tidak berhadats. Malaikat berdoa: “Ya Allah, ampunilah dia. ya Allah rahmatilah dia.” dan tetap dianggap dalam shalat [mendapat pahala seperti itu], selama ia menanti shalat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Ada seorang buta datang kepada Nabi saw. dan ia berkata: “Wahai Rasulallah, tidak ada seorangpun yang menuntun saya untuk datang ke masjid.” Kemudian ia minta keringanan kepada beliau agar diperkenankan shalat di rumahnya. Maka beliaupun mengizinkannya, tetapi ketika ia bangkit hendak pulang, beliau bertanya kepadanya: “Apakah kamu mendengar adzan?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Kamu harus datang ke masjid.” (HR Muslim)

Dari Abdullah, ada yang memanggilnya dengan Amar bin Qais yang terkenal dengan Ibnu Ummi Maktum ra. [muadzdzin] bahwasannya ia berkata: “Wahai Rasulallah, sesungguhnya di kota Madinah ini banyak hal-hal yang membahayakan dan binatang buas.” Rasulullah saw. bersabda: “Apabila kamu mendengar: hayya ‘alash shalaaH hayya ‘alal falaah, maka kamu harus mendatanginya.” (HR Abu Dawud)

Dari Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Demi Dzat yang menguasaiku. Sungguh aku benar-benar pernah bermaksud menyuruh mengumpulkan kayu bakar. Kemudian aku memerintahkan shalat dengan mengumandangkan adzan lebih dulu. Lalu aku menyuruh seseorang mengimami orang banyak. Kemudian aku pergi ke rumah orang-orang yang tidak memenuhi panggilan shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan mereka sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu Mas’ud ra. ia berkata: “Barangsiapa merasa senang apabila bertemu dengan Allah Ta’ala besok [pada hari kiamat] dalam keadaan muslim maka hendaklah ia memelihara shalat pada waktunya, ketika mendengar suara adzan. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan kepada Nabi Muhammad saw. jalan-jalan petunjuk, sedangkan shalat itu termasuk jalan-jalan petunjuk. Seandainya kalian melakukan shalat itu di rumah sebagai kebiasaan orang yang tidak suka berjamaah, niscaya kalian telah meninggalkan sunah Nabi, pasti kalian sesat. Aku benar-benar melihat di antara kita tidak ada yang meninggalkan shalat berjamaah, kecuali orang-orang munafik yang benar-benar munafik. Sungguh pernah terjadi seorang lelaki diantar ke masjid, ia terhuyung-huyung di antara dua orang, sampai ia berdiri dalam shaf [barisan shalat].” (HR Muslim)

Dan di dalam riwayat lain dikatakan: “Rasulullah saw. telah mengajarkan jalan-jalan petunjuk yakni shalat di masjid yang terdengar adzannya.”

Dari Abu Darda’ ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Apabila di suatu desa atau kampung terdapat tiga orang, dan disitu tidak diadakan shalat jamaah niscaya mereka telah dikuasai oleh setan. Oleh karena itu hendaklah kamu sekalian selalu mengerjakan shalat dengan berjamaah sebab srigala itu hanya menerkam kambing yang jauh terpencil dari kawan-kawannya.” (HR Abu Dawud)

Dari Utsman bin ‘Affan ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang shalat Isya’ dengan berjamaah, seolah-olah ia mengerjakan shalat setengah malam. Dan barangsiapa yang shalat Shubuh dengan berjamaah seolah-olah ia mengerjakan shalat semalam suntuk.” (HR Muslim)

Di dalam riwayat Turmudzi ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mengerjakan shalat Isya’ dengan berjamaah, maka ia dianggap mengerjakan shalat setengah malam, dan barangsiapa mengerjakan shalat Isya’ dan Shubuh dengan berjamaah, maka ia dianggap mengerjakan shalat semalam suntuk.” (HR Turmudzi)

Dari Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Seandainya manusia mengetahui keutamaan shalat Isya’ dan shubuh tentu mereka mendatangi keduanya [berjamaah] walaupun dengan merangkak.” (HR Bukhari dan Muslim)


Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang-orang munafik melebihi shalat shubuh dan isya’. Seandainya mereka mengetahui keutamaan kedua shalat itu, niscaya mereka mendatangi keduanya [berjamaah] walaupun dengan merangkak.” (HR Bukhari dan Muslim)

makalah.Hakikat Iman, Islam, Ikhsan




BAB I
PENDAHULUAN
  1. A.    Latar Belakang
Dalam agama Islam memiliki tiga tingkatan yaitu Islam, Iman, Ihsan. Tiap-tiap tingkatan memiliki rukun-rukun yang membangunnya.
Jika Islam dan Iman disebut secara bersamaan, maka yang dimaksud Islam adalah amalan-amalan yang tampak dan mempunyai lima rukun. Sedangkan yang dimaksud Iman adalah amal-amal batin yang memiliki enam rukun. Dan jika keduanya berdiri sendiri-sendiri, maka masing-masing menyandang makna dan hukumnya tersendiri.
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau dilandaskan pada aqidah da syariat Islam disebut Ihsan. Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah.
  1. B.     Rumusan Masalah
  2. Mengetahui Hakikat Iman, ?
  3. Mengetahui Hakikat  Islam ?
  4. Mengetahui Hakikat Ikhsan?
BAB II
PEMBAHASAN
  1. 1.      Hakikat iman
Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa dicampuri keraguan sedikitpun.[1]  Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya kepada Alloh, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir dan berIman kepada takdir baik dan buruk. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan, amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari pada cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali jika seorang hamba telah mamapu mewujudka keislamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari segi pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku keIslaman dan tidak semua pelaku keIslaman menjadi pelaku keImanan, jelaslah setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin[2]
Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keImanan dan salah satu indikasi yang terlihat oleh manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh secara beriringan dalam Qur’an surat Al Anfal ayat 2-4 yang artinya:
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)
Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang mayoritas ulama memandang keImanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap keImanan akan bertambah dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagaian ulama yang melihat Iman berdasarkan sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah yang tidak menerima pemilahan (dikotomi). Maka seseorang hanya memiliki dua kemungkinan saja: mukmin atau kafir, tidak ada kedudukan lain diantara keduanya. Karena itu mereka berpendapat Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.
Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka perlu diketahui kriteria bertambahnya Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:
1)   Diyakini dalam hati
2)   Diucapkan dengan lisan          
3)   Diamalkan dengan anggota tubuh.
Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari adanya rukun Iman yang enam, yaitu:
1)   Iman kepada Alloh
2)   Iman kepada malaikatNya
3)   Iman kepada kitabNya
4)   Iman kepada rosulNya
5)   Iman kepada Qodho dan Qodar
6)   Iman kepada hari akhir
Demikianlah kriteria amalan hati dari pribadi yang berIman, yang jika telah tertanam dalam hati seorang mukmin enam keImanan itu maka akan secara otomatis tercermin dalam prilakunya sehari-hari yang sinergi dengan kriteria keImanan terhadap enam poin di atas.
Jika Iman adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis, maka sesekali didapati kelemahan Iman, maka yang harus kita lakukan adalah memperkuat segala lini dari hal-hal yang dapat memperkuat Iman kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita mulai dengan memperkuat aqidah, serta ibadah kita karena Iman bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat.
Ketika Iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka akan dirasakan oleh pemiliknya suatu manisnya Iman, sebagaImana hadits Nabi Muhammad saw. yang artinya:
“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya Iman: Menjadikan Alloh dan RosulNya lebih dicintainya melebihi dari selain keduanya, mencintai seseorang yang tidak dicintainya melainkan karena Alloh, membenci dirinya kembali kepada kekufuran sebagaImana bencinya ia kembali dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR.Bukhori Muslim).
  1. 2.      Hakikat Islam
Islam bersal dari kata, as-salamuas-salmu, danas-silmu yang berarti: menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan patuh. Berasal dari kata as-silmu atau as-salmu yang berarti damai dan aman. Berasal dari kata as-salmu, as-salamu, dan as-salamatu yang berarti bersih dan selamat dari kecacatan-kecacatan lahir dan batin.
Pengertian Islam menurut istilah yaitu, sikap penyerahan diri (kepasrahan, ketundukan, kepatuhan) seorang hamba kepada Tuhannya dengan senantiasa melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya, demi mencapai kedamaian dan keselamatan hidup, di dunia maupun di akhirat.
Siapa saja yang menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Alloh, maka ia seorang muslim, dan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Alloh dan selain Alloh maka ia seorang musyrik, sedangkan seorang yang tidak menyerahkan diri kepada Alloh maka ia seorang kafir yang sombong.[3]
Dalam pengertian kebahasan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama. Senada dengan hal itu Nurkholis Madjid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat dari pengertian Islam. Dari pengertian itu, seolah Nurkholis Madjid ingin mengajak kita memahami Islam dari sisi manusia sebagai yang sejak dalam kandungan sudah menyatakan kepatuhan dan ketundukan kepada Tuhan, sebagaImana yang telah diisyaratkan dalam surat al-A’rof ayat 172 yang artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”[4]
Berkaitan dengan Islam sebagai agama, maka tidak dapat terlepas dari adanya unsur-unsur pembentuknya yaitu berupa rukun Islam, yaitu:
1)      Membaca dua kalimat Syahadat
2)      Mendirikan sholat lima waktu
3)      Menunaikan zakat
4)      Puasa Romadhon
5)      Haji ke Baitulloh jika mampu.
  1. 3.      Hakikat Ihsan
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau dilandaskan pada aqidah dan syariat Islam disebit Ihsan. Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah[5]
Adapun dalil mengenai Ihsan dari hadits adalah potongan hadits Jibril yang sangat terkenal (dan panjang), seperti yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ketika nabi ditanya mengenai Ihsan oleh malaikat Jibril dan nabi menjawab:
…أَنْ تَعْبُدَ اللّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإنَّهُ يَرَاكَ…
“…Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihatNya. Tapi jika engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Alloh melihatmu…..

Hadits tersebut menunjukan bahwa untuk melakukan Ihsan, sebagai rumusnya adalah memposisikan diri saat beribadah kepada Alloh seakan-akan kita bisa melihatNya, atau jika belum bisa memposisikan seperti itu maka posisikanlah bahwa kita selalu dilihat olehNya sehingga akan muncul kesadaran dalam diri untuk tidak melakukan tindakan selain berbuat Ihsan atau berbuat baik.

Korelasi Iman, Islam, dan Ihsan
Diatas telah dibahas tentang ketiga hal tersebut, disini, akan dibahas hubungan timbal balik  antara ketiganya. Iman yang merupakan landasan awal,  bila diumpamakan sebagai pondasi dalam keberadaan suatu rumah, sedangkan islam merupakan entitas yang berdiri diatasnya. Maka, apabila iman seseorang lemah, maka islamnya pun akan condong, lebih lebih akan rubuh. Dalam realitanya mungkin pelaksanaan sholat akan tersendat-sendat, sehingga tidak dilakukan pada waktunya, atau malah mungkin tidak terdirikan. Zakat tidak tersalurkan, puasa tak terlaksana, dan lain sebagainya. Sebaliknya, iman akan kokoh bila islam seseorang ditegakkan. Karena iman terkadang bisa menjadi tebal, kadang pula menjadi tipis, karena amal perbuatan yang akan mempengaruhi hati. Sedang hati sendiri merupakan wadah bagi iman itu. Jadi, bila seseorang tekun beribadah, rajin taqorrub, maka akan semakin tebal imannya, sebaliknya bila seseorang berlarut-larut dalam kemaksiatan, kebal akan dosa, maka akan berdampak juga pada tipisnya iman.
Dalam hal ini, Ali pernah berkata :
قال علي كرم الله وجهه إن الإيمان ليبدو لمعة بيضاء فإذا عمل العبد الصالحات نمت فزادت حتى يبيض القلب كله وإن النفاق ليبدو نكتة سوداء فإذا انتهك الحرمات نمت وزادت حتى يسود القلب كله
Artinya : Sahabat Ali kw. Berkata : sesungguhnya iman itu terlihat seperti sinar yang  putih, apabila seorang hamba melakukan kebaikan, maka sinar tersebut  akan tumbuh dan bertambah sehingga hati (berwarna) putih. Sedangkan kemunafikan terlihat seperti titik hitam, maka bila seorang melakukan perkara yang diharamkan, maka titik hitam itu akan tumbuh dan bertambah hingga hitamlah (warna) hati. 
Adapun ihsan, bisa diumpamakan sebagai hiasan rumah, bagaimana rumah tersebut bisa terlihat mewah, terlihat indah, dan megah. Sehingga padat menarik perhatian dari banyak pihak. Sama halnya dalam ibadah, bagaimana ibadah ini bisa mendapatkan perhatian dari sang kholiq, sehingga dapat diterima olehnya. Tidak hanya asal menjalankan perintah dan menjauhi larangannya saja, melainkan berusaha bagaimana amal perbuatan itu bisa bernilai plus dihadapan-Nya. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas kedudukan kita hanyalah sebagai hamba, budak dari tuhan, sebisa mungkin kita bekerja, menjalankan perintah-Nya untuk mendapatkan perhatian dan ridlonya. Disinilah hakikat dari ihsan.[6]
BAB III
KESIMPULAN
Iman, islam dan ihsan merupakan tiga rangkaian konsep agama islam yang sesuai dengan dalil , Iman, Islam dan Ihsan saling berhubungan karena seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan Iman. Sebaliknya, Iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan Iman akan mencapai kesempurnaan jika dibarengi dengan Ihsan, sebab Ihsan merupakan perwujudan dari Iman dan Islam,yang sekaligus merupakan cerminan dari kadar Iman dan Islam itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA 
At-Tuwaijiri, Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah,  Ensiklopedia Islam Al-Kamil, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010)
Busyra, Zainuddin Ahmad, Buku Pintar Aqidah Akhlaq dan Qur’an Hadis, (Yogyakarta: Azna Books, 2010)
Daradjat, Zakiah, dkk., Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996).
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:Rajawali Press, 2001)
Thanthawi, Ali, Aqidah Islam; Doktrin dan Filosofis, (Pajang:Era Intermedia,2004).
Wahhab, Muhammad bin Abdul, Tiga Prinsip Dasar dalam Islam,(Riyadh: Darussalam,2004).

[1] Busyra, Zainuddin Ahmad, Buku Pintar Aqidah Akhlaq, hlm.33
[2] Ibid, hlm.87-88
[3] At-Tuwaijiri, Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah, 2010, Ensiklopedia Islam Al-Kamil, Jakarta: Darus Sunnah Press, hlm.88
[4] Al-qurannulkarim,PT.sygma examedia arkanleema
[5] Wahhab, Muhammad bin Abdul, 2004 , Tiga Prinsip Dasar dalam Islam,Riyadh: Darussalam, hlm.23-24

Sabtu, 05 September 2015

Ucapan yang seharusnya di hari raya

SELAMAT Hari Raya Idul Fitri, Taqobalallahu Minnaa wa Minkum, Minal 'Aidin wal Faizin,
Mohon Maaf Lahir Batin, merupakan ucapan yang biasa disampaikan dan diterima oleh kaum muslimin di hari Lebaran/Idul Fitri baik melalui lisan ataupun kartu ucapan.Namun tahukah Anda apa arti kalimat tersebut? Hal ini perlu disampaikan,

karena banyak yang yang mengira bahwa arti kalimat Minal 'Aidin wal Faizin adalah mohon maaf lahir dan batin... Mari kita simak arti kalimat sebenarnya... semoga bermanfaat....

Para Sahabat Rasulullah biasa mengucapkan kalimat TaqobalaLLaahu Minnaa wa Minkum di antara mereka.Arti kalimat ini adalah: Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian.

Maksudnya, menerima amal ibadah kita semua selama bulan Ramadhan. Para sahabat juga biasa menambahkan: Shiyamana wa Shiyamakum, artinya : semoga juga puasaku dan kalian diterima.

Namun bila ditambah kata-kata Taqobal Yaa Karim, artinya : Semoga (Terimalah do'a kita) Ya ALLAH, Yang Maha Terpuji. Lalu bagaimana dengan kalimat: Minal 'Aidin wal Faizin?"Minal Aidin wal Faizin" sebenarnya adalah do'a yang artinya : “Semoga kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) kemenangan”.Jelaslah, meskipun diikuti dengan kalimat mohon maaf lahir batin, kalimat ini tidak mempunyai makna yang serupa.

 Bahkan sebenarnya merupakan tambahan doa untuk kita yang patut untuk diaminkan.Kesalahan PenulisanPertama, kesalahan penulisan pada kata “Minal ‘Aidin wal Faizin” yang kadang ditulis seperti beberapa contoh dibawah ini:

1. Minal ‘Aidin wal Faizin = Penulisan yang benar
2. Minal Aidin wal Faizin = Juga benar berdasar ejaan indonesia
3. Minal Aidzin wal Faidzin = Salah, karenapenulisan “dz” berarti huruf “dzal” dalam abjad arab
4. Minal Aizin wal Faizin = Salah, karena pada kata “Aizin” seharusnya memakai huruf “dal” atau dilambangkan huruf “d” bukan “z”
5. Minal Aidin wal Faidin = Juga salah, karena penulisan kata “Faidin”, seharusnya memakai huruf “za” atau dilambangkan dengan huruf “z” bukan “dz” atau “d”

Nah, sebenarnya kalimat Minal ‘Aidin wal Faizin adalah penggalan sebuah Do'a yang lengkap, yakni : "Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Wa Ja’alanallahu Minal‘Aidin Wal Faizin" yang artinya : “Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah aku dan kalian lakukan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) kemenangan”.

Semoga varokah vroh Fastabiqul Khairat!

Pandangan mengenai Kebaikan

“Semua agama utama mengajarkan kebaikan hal yang pada dasarnya sama: kasih sayang, belas kasihan, dan pengampunan.” Kata Dalai Lama, yang mendukung kerjasama antar agama. Ia menambahkan, “Yang penting, sifat-sifat baik itu harus ditunjukan dalam kehidupan sehari-hari.”

Memang, sifat kasih, belas kasihan, dan suka mengampuni sangat penting.Yesus mengatakan, “Segala sesuatu yang kamu ingin orang lakukan kepadamu, demikian juga yang harus kamu lakukan pada mereka.”

Belakangan, pernyataan ini dikenal sebagai aturan emas. (Matius 7:12) Tapi, apakah cukup?
Mengenai banyak orang yang mengaku beriman kepada Allah pada zamannya, Paulus mengatakan, “Aku memberikan kesaksian tentang mereka bahwa mereka mempunyai gairah untuk Allah; tetapi tidak menurut pengetahuan yang saksama. ”Apamasalahnya? Menurut Paulus, “Karena tidak mengetahui keadilan Allah, mereka berupaya menetapkan keadilan berdasarkan kebenaran mereka sendiri.” (Roma 10:2, 3) Mereka tidak tahu apa yang Allah kehendaki dari mereka. Karena itu, gairah dan iman mereka sebenarnya sia-sia.” (Matius 7:21-23).

Sekilas merupakan lintas pandangan kebaikan menurut Alkitab, bukan berupaya menjadikan acuan, melainkan sekedar ilmu untuk diketahui dan diambil kebaikannya selama dapat diterapkan dalam realitas.

Dalam hal tersebut, Islam begitu lengkap dalam mengaplikasikan hal-hal mengenai kebaikan. Mulai dari pemikiran terlebih dahulu, lalu ucapan dan perbuatan.  Hampir semua ayat dalam Al-Qur’an diselipkan ajakan kebaikan yang dihimpun sederhana menjadi “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”. Menjadi agama rahmat seluruh alam semesta. Dan tidak diperuntuukan hanya untuk pemeluk Islam saja melainkan keseluruhan tanpa terkcuali ataupun pembedaan sama sekali.

Ini yang harus jadi upaya bahwa agama merupakan pusatnya kebaikan, tak peduli lain iman, berbeda cara ibadah, kepentingan yang diutamakan atau tujuan lain yang diharapkan. Kebaikan adalah kunci kesejahteraan, yaitu kebaikan secara menyeluruh, baik pikirn ucapan dan yang lebih dari itu semua tak berhenti sampai diucapan melainkan hingga tindakannya.