Humanitas, religiusitas dan intelektualitas.
Trisula yang menjadi bagian paling fundamental pada gerakan Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah di rasa telah tumpul. Seperti perumpamaan “Panas-panas tahi ayam”.
Pemuda memang mudah terpicu semangat menggelora tapi bagai kerupuk di terpa
angin, begitu mudah juga gelora itu menjadi melempem begitu saja.
Hal inilah yang saya temukan realitasnya pada
IMM Ciputat, seolah Trisula yang gahar dan dikatakan luar biasa itu sama sekali
tak saya rasakan. Optimisme saya terasa semakin terkikis apalagi setelah saya
kerucutkan lagi pada satu bagian dari keseluruhan IMM Ciputat, yaitu komisariat
tempat saya berlabuh. Ushuluddin namanya.
Setelah setidaknya satu semester berjalan di
tempat saya berlabuh ini, memang kebanyakan dari mereka bukan memiliki ambisi
kuliah yang benar atau setidaknya punya keinginan belajar, apalgi tujuan kuliah
di bidang yang cukup unik seperti Aqidah Filsafat, Perbandingan Agama . dapat kita
sadari kenyataannya mereka ada, sehat, bugar dan masih berakal tapi tak ada
bagai telah wafat saat kegiatan komisariat berlangsung.
Yang lebih parahnya itu kewafatan mereka
terjadi dikala diskusi penting berlangsung yang berbau pada pendidikan atau
pendalaman materi daripada program studi Ushuluddin yang pada intinya penting
demi kepentingan pribadi mereka masing-masing, mereka hanya akan hadir
dikegiatan yang berbau hiburan, ringan alias tak berpendidikan saja.
Keikutsertaanya pada hiburan belaka inilah yang menyebabkan keapatisan mereka
sehingga tidak tahu diri, tak punya rasa malu apalagi tanggung jawab mereka
sebagai kader IMM yang nantinya menjadi harapan kemajuan atau justru semakin
mengembangkan kemunduran yang telah terjadi.
Adapula pada bagian tertentu, mungkin seperti
sebuah perayaan atau acara tertentu dari cabang atau bagian lainnya, kebanyakan
hanya menjunjung formalitas yang didalamnya digandrungi orang yang pada umumnya
hanya yang itu-itu saja. Begitu miris umpama dari kuantitas yang memang kecil
lalu demikian pula pada kualitasnya, yang maju hanya hitungan jari dan
“Sampah”nya menumpuk semakin banyak.
Penggambaran sampah jelaslah tepat mengingat memang dilapangan yang terjadi
ialah tumpukan orang-orang tak bernilai begitu banyak di tempat yang mungil,
sehingga keberadaanya mengundang lalat dan bau busuk serta tempat yang tak
layak saja.
Belum cukup kritikan saya pada komisariat kami
yang compang-camping ini, tidak struktural yang bahkan ada sebagian pengurus
divisi tertentu yang bahkan tidak mengetahui prgram kerjannya apalgi untuk
kerjaannya di komisariat ini dan jika diplesetkan dengan cara berpakaian ini
lebih tepatnya berpakaian “Bebas tak pantas”.konyolnya tidak berhenti sampai di
situ saja, adapula oknum lain sebut saja “Senior dan Alumni”. Dikenal sebagai
kakak tertua, orang yang mengayomi, Ulil Amri, Publick Figure, guru pengalaman dan hal-hal lainnya.
Pada kenyataannya memang ada dari mereka yang
demikian, ada sebagian kecil tetapi ada lagi yaitu sebagian besar atau sisa
dari keseluruhannya entah karena memang dulunya seperti para kader sampah
sehingga saat menjadi senior hanya gentayangan di sosial media saja, atau hanya
memajang nama pada jabatan atau keberadaanya pada masa tertentu yang bahkan
kebanyakan kader terlebih saya sendiri saja tidak tahu dan apalagi melihat
siluet tubuhnya saja belum pernah.
Di saat kami para junior berusaha mengambil
inisiatif untuk membuat perubahan pada komisariat ini ada bukan hanya nama
belaka seperti senior yang punya nama tapi penampakannya saja tidak ada, pernah
suatu ketika saya membentak salah satu pengurus komisariat karena sikap tidak
disiplinnya lalu senior lain yang saya tahunya hanya ada di media sosial saja
memberi gambar yang bertuliskan “Akibat melawan senior, jenazah junior susah
dikebumikan”. Sungguh hal yang kocak, senioritas bagi saya omong kosong, karena
prinsip yang saya pegang di tanah Kalimantan ialah kita hanya menghormati dan
mengikuti orang yang layak untuk dihormati dan diikuti.
Walau
demikian abdi saya tidak memudar, kesetiaan justru semakin terpupuk, tantangan
adalah sebuah permainan menarik yang harus dijalankan, kita takkan pernah
bangkit jika belum pernah terjatuh sebelumnya. Ya ada beberapa dari kami
memberontak karena keresahan pada komisariat, kami tak peduli birokrasinya
bagaimana tapi kami secara nekad membuat berbagai kegiatan utnuk bisa
menyalakan kembali kiprah yang dirasa “Melempem” di Ushuluddin ini.
Solusi yang kami ambil memang memanfaatkan
cara yang pragmatis (mengutamakan tindakan tetapi menomor duakan resiko
selanjutnya). Menyingkirkan sampah manusia memang berbeda dengan sampah pada
biasanya, biarkan sajlah membusuk hingga habis masanya di asrama lalu
berikutnya ada pembatasan kuota dan diperketat dalam penyeleksian calon
penghuni berikutnya yang layak dan pantas. Seara pribadi doktrin tersebut kami
cekoki pada beberapa pengurus yang kami dekat dengannya dan memiliki ideologi
yang sama.
Kembali pada kepragmatisan yang kami lakukan,
berikutnya kami rangkul semaksimal mungkin anggota komisariat kami yang memang
punya kesungguhan dan seorang kader yang layak, bahkan kamipun menerima pihak
luar yang notabene bukan dari komisariat yang sama. Ibarat gerakan bawah tanah,
tak besar memang tapi ini adalah langkah perjuangan , pada hal-hal berikutnya
kami ingin semua pihak tahu Ushuluddin dengan ajakan diskusi-diskusi umum
seputar Ushuluddin terutama Filsafat dan agama-agama dunia yang ternyata orang
di luar Ushuluddin banyak yang tertarik dengan hal ini. Ini adalah hal penting
bagi kami karena dengan begini ungkapan “Ushuluddin sebagai jantung UIN”.
Ternyata masih bisa diharapkan eksistensinya.
“Pelaut yang hebat tak lahir dari lautan yang
tenang, melainkan ombak yang besar”, begitulah Ushuluddin dari masa ke masa yang
lahir umpama pelaut, jadi takkan ada tantangan ringan yang kami hadapi , proyek
kamipun dibuka hingga diluar konteks Ushuluddin, berusaha menarik simpati
remaja maka kamipun berusaha mengadakan nonton bareng , kegiatan wisata, baksos
atau olahraga yang pada sebagian besar jalannya kami mempersilahkan siapapun
utnuk bergabung.
Artiannya dalam usaha pragmatis ini, kami
berusaha dapat merangkul kegiatan hura-hura “Hedonis”. Yang teramat disukai
remaja pada umumnya pun demikian pada kader IMM yang kita cintai ini. Walau
didalamnya kami selipkan hal berbau duniawi itu dengan konspirasi doktrin
perihal kaderisasi, tonggak kepemimpinan, agama Islam, toleransi, pluralisme,
keMuhammadiyahan hingga hal yang awalnya mereka tidak sukai bisa disukai dengan gabungan hiburan
yang diselipkan didalamnya nilai-nilai Trisula IMM ini yaitu “Humanitas,
religiusitas dan intelektualitas”.
komisariat
Ushuluddin Cabang Ciputat tengah berusaha dalam English Club, Japanese Clubnya dan
kegiatan-kegiatan hiburan yang kami usahakan diminati semua pihak lalu tidak
ketinggalan sisipan-sisipan untuk menyadarkan eksistensi mereka untuk apa
berada di Ikatan Muhammadiyah Muhammadiyah.
Oleh: Faisal Fath
Junaidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar