Selasa, 21 April 2015

Konspirasi Cilik dan Pragmatisme Dalam Memajukan IMM Ciputat



   Humanitas, religiusitas dan intelektualitas. Trisula yang menjadi bagian paling fundamental pada gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di rasa telah tumpul. Seperti perumpamaan “Panas-panas tahi ayam”. Pemuda memang mudah terpicu semangat menggelora tapi bagai kerupuk di terpa angin, begitu mudah juga gelora itu menjadi melempem begitu saja.

   Hal inilah yang saya temukan realitasnya pada IMM Ciputat, seolah Trisula yang gahar dan dikatakan luar biasa itu sama sekali tak saya rasakan. Optimisme saya terasa semakin terkikis apalagi setelah saya kerucutkan lagi pada satu bagian dari keseluruhan IMM Ciputat, yaitu komisariat tempat saya berlabuh. Ushuluddin namanya.

   Setelah setidaknya satu semester berjalan di tempat saya berlabuh ini, memang kebanyakan dari mereka bukan memiliki ambisi kuliah yang benar atau setidaknya punya keinginan belajar, apalgi tujuan kuliah di bidang yang cukup unik seperti Aqidah Filsafat, Perbandingan Agama . dapat kita sadari kenyataannya mereka ada, sehat, bugar dan masih berakal tapi tak ada bagai telah wafat saat kegiatan komisariat berlangsung.

   Yang lebih parahnya itu kewafatan mereka terjadi dikala diskusi penting berlangsung yang berbau pada pendidikan atau pendalaman materi daripada program studi Ushuluddin yang pada intinya penting demi kepentingan pribadi mereka masing-masing, mereka hanya akan hadir dikegiatan yang berbau hiburan, ringan alias tak berpendidikan saja. Keikutsertaanya pada hiburan belaka inilah yang menyebabkan keapatisan mereka sehingga tidak tahu diri, tak punya rasa malu apalagi tanggung jawab mereka sebagai kader IMM yang nantinya menjadi harapan kemajuan atau justru semakin mengembangkan kemunduran yang telah terjadi. 

   Adapula pada bagian tertentu, mungkin seperti sebuah perayaan atau acara tertentu dari cabang atau bagian lainnya, kebanyakan hanya menjunjung formalitas yang didalamnya digandrungi orang yang pada umumnya hanya yang itu-itu saja. Begitu miris umpama dari kuantitas yang memang kecil lalu demikian pula pada kualitasnya, yang maju hanya hitungan jari dan “Sampah”nya  menumpuk semakin banyak. Penggambaran sampah jelaslah tepat mengingat memang dilapangan yang terjadi ialah tumpukan orang-orang tak bernilai begitu banyak di tempat yang mungil, sehingga keberadaanya mengundang lalat dan bau busuk serta tempat yang tak layak saja.

   Belum cukup kritikan saya pada komisariat kami yang compang-camping ini, tidak struktural yang bahkan ada sebagian pengurus divisi tertentu yang bahkan tidak mengetahui prgram kerjannya apalgi untuk kerjaannya di komisariat ini dan jika diplesetkan dengan cara berpakaian ini lebih tepatnya berpakaian “Bebas tak pantas”.konyolnya tidak berhenti sampai di situ saja, adapula oknum lain sebut saja “Senior dan Alumni”. Dikenal sebagai kakak tertua, orang yang mengayomi, Ulil Amri, Publick Figure, guru pengalaman dan hal-hal lainnya.

   Pada kenyataannya memang ada dari mereka yang demikian, ada sebagian kecil tetapi ada lagi yaitu sebagian besar atau sisa dari keseluruhannya entah karena memang dulunya seperti para kader sampah sehingga saat menjadi senior hanya gentayangan di sosial media saja, atau hanya memajang nama pada jabatan atau keberadaanya pada masa tertentu yang bahkan kebanyakan kader terlebih saya sendiri saja tidak tahu dan apalagi melihat siluet tubuhnya saja belum pernah.

   Di saat kami para junior berusaha mengambil inisiatif untuk membuat perubahan pada komisariat ini ada bukan hanya nama belaka seperti senior yang punya nama tapi penampakannya saja tidak ada, pernah suatu ketika saya membentak salah satu pengurus komisariat karena sikap tidak disiplinnya lalu senior lain yang saya tahunya hanya ada di media sosial saja memberi gambar yang bertuliskan “Akibat melawan senior, jenazah junior susah dikebumikan”. Sungguh hal yang kocak, senioritas bagi saya omong kosong, karena prinsip yang saya pegang di tanah Kalimantan ialah kita hanya menghormati dan mengikuti orang yang layak untuk dihormati dan diikuti.

    Walau demikian abdi saya tidak memudar, kesetiaan justru semakin terpupuk, tantangan adalah sebuah permainan menarik yang harus dijalankan, kita takkan pernah bangkit jika belum pernah terjatuh sebelumnya. Ya ada beberapa dari kami memberontak karena keresahan pada komisariat, kami tak peduli birokrasinya bagaimana tapi kami secara nekad membuat berbagai kegiatan utnuk bisa menyalakan kembali kiprah yang dirasa “Melempem” di Ushuluddin ini.

   Solusi yang kami ambil memang memanfaatkan cara yang pragmatis (mengutamakan tindakan tetapi menomor duakan resiko selanjutnya). Menyingkirkan sampah manusia memang berbeda dengan sampah pada biasanya, biarkan sajlah membusuk hingga habis masanya di asrama lalu berikutnya ada pembatasan kuota dan diperketat dalam penyeleksian calon penghuni berikutnya yang layak dan pantas. Seara pribadi doktrin tersebut kami cekoki pada beberapa pengurus yang kami dekat dengannya dan memiliki ideologi yang sama.

   Kembali pada kepragmatisan yang kami lakukan, berikutnya kami rangkul semaksimal mungkin anggota komisariat kami yang memang punya kesungguhan dan seorang kader yang layak, bahkan kamipun menerima pihak luar yang notabene bukan dari komisariat yang sama. Ibarat gerakan bawah tanah, tak besar memang tapi ini adalah langkah perjuangan , pada hal-hal berikutnya kami ingin semua pihak tahu Ushuluddin dengan ajakan diskusi-diskusi umum seputar Ushuluddin terutama Filsafat dan agama-agama dunia yang ternyata orang di luar Ushuluddin banyak yang tertarik dengan hal ini. Ini adalah hal penting bagi kami karena dengan begini ungkapan “Ushuluddin sebagai jantung UIN”. Ternyata masih bisa diharapkan eksistensinya.

   “Pelaut yang hebat tak lahir dari lautan yang tenang, melainkan ombak yang besar”, begitulah Ushuluddin dari masa ke masa yang lahir umpama pelaut, jadi takkan ada tantangan ringan yang kami hadapi , proyek kamipun dibuka hingga diluar konteks Ushuluddin, berusaha menarik simpati remaja maka kamipun berusaha mengadakan nonton bareng , kegiatan wisata, baksos atau olahraga yang pada sebagian besar jalannya kami mempersilahkan siapapun utnuk bergabung.

   Artiannya dalam usaha pragmatis ini, kami berusaha dapat merangkul kegiatan hura-hura “Hedonis”. Yang teramat disukai remaja pada umumnya pun demikian pada kader IMM yang kita cintai ini. Walau didalamnya kami selipkan hal berbau duniawi itu dengan konspirasi doktrin perihal kaderisasi, tonggak kepemimpinan, agama Islam, toleransi, pluralisme, keMuhammadiyahan hingga hal yang awalnya mereka tidak  sukai bisa disukai dengan gabungan hiburan yang diselipkan didalamnya nilai-nilai Trisula IMM ini yaitu “Humanitas, religiusitas dan intelektualitas”.
  
 komisariat Ushuluddin Cabang Ciputat tengah berusaha dalam English Club, Japanese Clubnya dan kegiatan-kegiatan hiburan yang kami usahakan diminati semua pihak lalu tidak ketinggalan sisipan-sisipan untuk menyadarkan eksistensi mereka untuk apa berada di Ikatan Muhammadiyah Muhammadiyah.
Oleh: Faisal Fath Junaidi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar