Selasa, 21 April 2015

Islam Nggak Pernah Ngajarin Sensi Apalagi Envy.


Sudah lebih dari sepuluh kali saya pernah membahas atau berdialog dengan teman-teman saya para alumni SMA atau bahkan yang baru saya kenal di perguruan tinggi ini dan pernah pula dengan orang tua saya sendiri mengenai toleransi beragama.

Entah apa yang menjadi referensi, atau sejauh apa mendalami islam itu sendiri, sebagian dari mereka berdalih dengan surath al-Kafirun ayath 5. (bagimu agamamu, bagiku agamaku) itu adalah contoh dari semua yang pernah saya berdialog sepuluh kali itu. Saya tak memusuhi atau menentang tapi coba anda perhatikan islam yang berarti salam atau keselamatan yang menunjukan simbol kedamaian atau kesejahteraan ini. Agama yang dikenal dengan jargon rahmat al alam ini? Apakah pantas agama seperti islam ini berkata sedemikian sinisnya seolah begitu anti dengan agama selain islam, saya justru khawatir pemahaman ini menjadi eklusif dan terus menjadi semakin sinis dan membentuk musuh-musuh yang sebenarnya tak perlu dimusuhi.

Sudahkah kalian pahami, sebelum perintah Iqra itu tiba bahwasanya yang lebih utama adalah ucapan Basmallah? Dan terkandung jelas artinya dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang? Apakah pantas kemudian bilamana islam membawa yang menuntut untuk menajag ajarak namun dengan cara yang sensi itu. Tak semiris itu jika kita ingin berdalih dengan dalil, walau ayath itu singkat, semua yang terkandung dalam al-Qur’an sangatlah mulia dan begitu penting, jadi tak pantas kita menggunakan itu seadanya dengan rasa sinis itu.

 Mari kita jernihkan pikiran, perintah yang terdapat dalam al-qur’an bahwa kita semua berbeda dari segala hal namun kita diperintahkan untuk menyambung silaturahmi atau saling mengenal. Apakah itu hanya berlaku jika kita seagama islam saja? Tidak! Ingatlah tiga hal misi hamba Allah itu. Habl min Allah (kecintaan pada Allah), habl min nash (kecintaan pada manusia), dan habl min alam (kecintaan pada alam raya).

 Apakah kecintaan pda manusia hanya bagi yang sesama agama islam? Jelas tidak, mari kita masukkan kembali dalil dari al-kafirun ayath 6 itu tadi, bahwa jelas jika adanya toleransi dalam beragama bukan berarti secara otomatis kita menjadi orang yang berama orang lain itu alias tidak islam lagi. Dengan penjelasan yang teramat lembut dari ayath ke 6 ini jelas, jika kita islam maka islamlah kita dimanapun kita berada, baik di negri mayoritas islam, atau bahkan di negri minoritas islam, bukan berarti jika kita mengenal kristen atau buddah kemudian kita ketempat peribadatannya maka kita meyakini agama mereka dan memeluk agama mereka, tapi secara seksama agamaku ya agamaku, islam tetap keyakinanku yang akan kupegang teguh, seandainya aku mengikuti kegiatan kebaktian atau nyepi itu sekedar pembelajaran dan bukan bermaksud keluar dari agama islam dan melakukan pengkhianatan.

Bukankah jika ikut kedalamnya saja kafir lalu bagaimana kita selama ini, dari pakaian saja apa yang kita pakai ini buatan islam? Apakah ini budaya islam? Lantas elektronik berbagai media dan apapun yang kita nikmati dan gunakan selama ini? Lantas apakah kita kafir?  Tentu tidak, habl min nash tidak pernah membatasi dan memberi sekat, kecintaan pada manusia yang diperintahkan islam tak bersyarat dan itu berarti siapapun harus dirangkul.

Kita kembali bawa keinklusivitasan islam yang merupakan agama kasih sayang bagi sekalian semesta ini, mari terus menggali khazanah keislaman, terus lanjutkan perjuangan islam, memperjuangkan perdamaian dan islam yang kaffah ini. Billahi fi sabilil haq, fastabikul khairat.

F.F.Jun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar