Sudah lebih dari sepuluh kali saya pernah membahas atau
berdialog dengan teman-teman saya para alumni SMA atau bahkan yang baru saya
kenal di perguruan tinggi ini dan pernah pula dengan orang tua saya sendiri
mengenai toleransi beragama.
Entah apa yang menjadi referensi, atau sejauh apa mendalami
islam itu sendiri, sebagian dari mereka berdalih dengan surath al-Kafirun ayath
5. (bagimu agamamu, bagiku agamaku) itu adalah contoh dari semua yang pernah saya
berdialog sepuluh kali itu. Saya tak memusuhi atau menentang tapi coba anda
perhatikan islam yang berarti salam atau keselamatan yang menunjukan simbol
kedamaian atau kesejahteraan ini. Agama yang dikenal dengan jargon rahmat al
alam ini? Apakah pantas agama seperti islam ini berkata sedemikian sinisnya
seolah begitu anti dengan agama selain islam, saya justru khawatir pemahaman
ini menjadi eklusif dan terus menjadi semakin sinis dan membentuk musuh-musuh
yang sebenarnya tak perlu dimusuhi.
Sudahkah kalian pahami, sebelum perintah Iqra itu tiba
bahwasanya yang lebih utama adalah ucapan Basmallah? Dan terkandung jelas
artinya dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang? Apakah pantas
kemudian bilamana islam membawa yang menuntut untuk menajag ajarak namun dengan
cara yang sensi itu. Tak semiris itu jika kita ingin berdalih dengan dalil,
walau ayath itu singkat, semua yang terkandung dalam al-Qur’an sangatlah mulia
dan begitu penting, jadi tak pantas kita menggunakan itu seadanya dengan rasa sinis
itu.
Mari kita jernihkan
pikiran, perintah yang terdapat dalam al-qur’an bahwa kita semua berbeda dari
segala hal namun kita diperintahkan untuk menyambung silaturahmi atau saling
mengenal. Apakah itu hanya berlaku jika kita seagama islam saja? Tidak! Ingatlah
tiga hal misi hamba Allah itu. Habl min Allah (kecintaan pada Allah), habl min
nash (kecintaan pada manusia), dan habl min alam (kecintaan pada alam raya).
Apakah kecintaan pda
manusia hanya bagi yang sesama agama islam? Jelas tidak, mari kita masukkan
kembali dalil dari al-kafirun ayath 6 itu tadi, bahwa jelas jika adanya
toleransi dalam beragama bukan berarti secara otomatis kita menjadi orang yang
berama orang lain itu alias tidak islam lagi. Dengan penjelasan yang teramat
lembut dari ayath ke 6 ini jelas, jika kita islam maka islamlah kita dimanapun
kita berada, baik di negri mayoritas islam, atau bahkan di negri minoritas
islam, bukan berarti jika kita mengenal kristen atau buddah kemudian kita
ketempat peribadatannya maka kita meyakini agama mereka dan memeluk agama
mereka, tapi secara seksama agamaku ya agamaku, islam tetap keyakinanku yang
akan kupegang teguh, seandainya aku mengikuti kegiatan kebaktian atau nyepi itu
sekedar pembelajaran dan bukan bermaksud keluar dari agama islam dan melakukan
pengkhianatan.
Bukankah jika ikut kedalamnya saja kafir lalu bagaimana kita
selama ini, dari pakaian saja apa yang kita pakai ini buatan islam? Apakah ini
budaya islam? Lantas elektronik berbagai media dan apapun yang kita nikmati dan
gunakan selama ini? Lantas apakah kita kafir?
Tentu tidak, habl min nash tidak pernah membatasi dan memberi sekat,
kecintaan pada manusia yang diperintahkan islam tak bersyarat dan itu berarti
siapapun harus dirangkul.
Kita kembali bawa keinklusivitasan islam yang merupakan
agama kasih sayang bagi sekalian semesta ini, mari terus menggali khazanah
keislaman, terus lanjutkan perjuangan islam, memperjuangkan perdamaian dan
islam yang kaffah ini. Billahi fi sabilil haq, fastabikul khairat.
F.F.Jun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar