Suatu hari Al-Hallaj pernah berkata: “Telah ku
merenung amat panjang agama-agama, aku temukan satu akar dari berbagai banyak
cabang”. Sebagaimana Al-Hallaj, Gandhi menyuarakan pendapat serupa. Bahwa agama
itu seperti cabang-cabang dari pohon yang sama, bunga-bunga dari satu kebun,
saudara sekandung dari satu keluarga. Dapat disimpulkan, sesungguhnya agama
yang terbaik itu bukan Hindu, Budha, Yahudi, Kristen, Islam ataupun yang
lainnya, tapi semuanya. Pada dasarnya semua agama itu bermuara pada satu kebenaran.
Agama yang paling dicintai Allah SWT adalah al-hanifiyyah
al-samhah (yang mudah menerima kebenaran dan toleran pada sesama). HR.
Al-Bukhari
Sekali lagi, kita dikejutkan oleh serangkaian peristiwa kekerasan atas nama
agama. Beberapa hari yang lalu, Gereja Jemaat HKPB di Kabupaten Bekasi
dirobohkan oleh Petugas Satpol PP. Alasan penghancurannya sangat tidak logis:
karena tidak mempunyai surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Penulis pun
bertanya-tanya, bukankah banyak juga mesjid dan rumah ibadah lainnya yang tidak
mempunyai surat IMB? Kenapa tidak juga dihancurkan? Kenapa kita bisa beribadah,
sementara orang lain tidak? Bukankah itu hak setiap warga negara?. Selain itu,
baru-baru ini kelompok masa yang mengatasnamakan sebuah forum menyegel Gereja
Katolik di Kampung Duri Tambora, Jakarta Barat yang sejak tahun 1968 sudah
digunakan sebagai tempat ibadah. Walaupun tidak ada korban yang terluka, hal
ini telah menambah deretan panjang kasus kekerasan atas nama agama di Indonesia.
Masalah Seputar Agama: Dua Faktor
Menurut
data Wahid Institute, sepanjang tahun 2012 telah terjadi 274 kasus kekerasan
atas nama agama. Hal ini meningkat 1 % dari tahun 2011 yang berjumlah 267
kasus. Hal ini membuktikan bahwa, sebagian besar masyarakat ternyata
masih ‘gagap’ dalam menyikapi masalah perbedaan. Penulis melihat ada dua faktor
yang menyebabkan kenapa hal ini terus terjadi: faktor internal dan eksternal.
Faktor internal terjadi karena adanya keterbatasan pengetahuan oleh pemeluk agama
dalam memahami agamanya, sehingga memunculkan pemahaman skripturalisme.
Skripturalisme adalah sebuah pemahaman yang menempatkan agama hanya sebatas
teks-teks keagamaan. Dalam paham ini, fungsi utama dalam sebuah agama hanya
terletak pada teks-teks yang terkandung di dalamnya. Mereka mengabaikan
substansialisasi dan kontekstualisasi keagamaan. Dampaknya adalah mereka
terpenjara oleh teks, dogma, dan simbolisme keagamaan. Menurut penulis ini
sangat berbahaya, karena pemahaman semacam ini akan berpotensi besar untuk
melahirkan kekerasan dan anarkisme.
Misalkan,
penulis melihat banyak sekali ceramah ustadz-ustadz di televisi, radio, maupun
khatib-khatib Jumat yang menganjurkan kebencian satu sama lain. Hanya berbekal
satu-dua ayat teks suci mereka mudah sekali untuk saling membenci satu sama
lain, saling mengkafiri sesama muslim dan mencap orang lain (yang bukan
golongan mereka) pasti masuk neraka. Apakah ini yang dinamakan dakwah? Apakah
mereka yang memegang kunci-kunci neraka? Bukankah yang berhak menentukan
seorang itu masuk surga atau neraka hanya Tuhan? Bukankah yang berhak
menentukan seseorang itu kafir atau tidak hanya Tuhan? Mereka, para “pembela
Tuhan” itu mudah sekali mencap orang sebagai kafir. Padahal ada hadist: "Man
kaffara akhahu musliman fahuwa kafirun” (Barangsiapa yang mengkafirkan
saudara yang beragama Islam, justru ia yang kafir). Mereka para “pembela Tuhan”
itu seakan telah mengambil alih jabatan dan wewenang Tuhan. Penulis masih belum
bisa mengerti, kenapa masih ada sebagian orang yang membatasi kasih sayang
Tuhan. Bukankah rahmat Tuhan itu tidak terbatas?
Faktor eksternal terjadi
diluar agama, seperti gagalnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
mengakomodasi ekspresi-ekspresi Islam yang berbeda. Dalam kasus kekerasan atas
nama agama misalnya, penulis melihat banyak fatwa-fatwa MUI yang ikut
berkontribusi menyulut api kebencian, misalkan dengan fatwa–fatwa
diskriminatif, seperti pelarangan Ahmadiyah. Selain itu, lemahnya penegakan
hukum dan pembiaran oleh negara juga menjadi faktor eksternal yang menyuburkan
kekerasan atas nama agama. Disini terlihat jelas, peran negara masih
‘impoten’ dalam menjaga perbedaan yang sudah menjadi fakta sosial. Dalam
berbagai kasus, seringkali pemerintah lebih membela mayoritas dan mengorbankan
yang minoritas. Padahal menurut UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(HAM) seharusnya negara, pemerintah, dan masyarakat wajib mengakui dan
melindungi HAM seseorang tanpa kecuali. Oleh karena itu, dalam menjaga hak-hak
minoritas, semestinya tugas negara harus lebih aktif sehingga fungsi negara
bisa terwujud dengan baik. Seperti, pertama menjalankan konstitusi
dengan sebaik-baiknya, kedua memastikan semua warga negara berhak
memiliki keyakinan masing-masing. Dalam hal ini, negara harus bisa memastikan
kebebasan masyarakat. Ketiga, negara harus bisa memberikan
perlindungan bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
Mencari Titik Temu Agama
Manusia diciptakan secara
berbeda-beda. Tidak mungkin kita menyembah Tuhan dengan cara yang sama, pasti
berbeda pula. Bukan tanpa sebab Tuhan menciptakan kita berbeda, dalam Al-Quran
dikatakan: “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan
jalan yang terang (syir’atan wa minhajan). Sekiranya Allah menghendaki
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (fastabiqu
al-khayrat). Hanya kepada Allah kembali kamu semuanya (ila Allahi
marji’ukum jami’a). Lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu (QS Al Maidah: 48). Ini menandakan bahwa keragaman agama
itu dimaksudkan untuk menguji kita semua. Menguji agar seberapa banyak kita
bisa berkontribusi untuk kebaikan umat manusia dan kemanusiaan (al-khayrat).
Menurut John Hick, 93 % umat
beragama itu menganut agama secara kebetulan, karena setiap orang pada dasarnya
tidak bisa memilih. Sudah saatnya, dalam hubungan beragama jangan kita cari
perbedaan, tetapi cari persamaan. Mungkin cara kita menuju Tuhan saja yang
berbeda-beda. Pada dasarnya setiap agama mempunyai dimensi spiritual yang sama:
berserah diri kepada Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, dalam prosesnya agama-agama
akan menuju kepada satu titik pertemuan (common platform) atau dalam
istilah Al-Quran disebut dengan kalimah sawa. Penulis meyakini, pintu
menuju Tuhan itu tidak hanya satu, tetapi banyak, sebanyak pikiran manusia.
Seperti kata Al-Quran: “Wahai anak-anaku, janganlah kalian masuk dari satu
pintu yang sama, tapi masuklah dari pintu-pintu yang berbeda” (QS Yusuf:
67). Senada dengan Al-Quran, dalam kitab Bhagawadgita juga disebutkan: “Dengan
jalan atau cara apa pun orang memuja Aku, melalui jalan itu Aku memenuhi
keinginannya, Wahai Arjuna, karena semua jalan yang ditempuh mereka adalah
jalanKu”. Hal ini menyimpulkan bahwa, sebenarnya agama itu hanya sebuah
jalan menuju Tuhan. Meskipun jalan itu beragam, warna-warni, luas, plural,
tetapi semuanya akan menuju ke arah vertikal yang sama: Tuhan Yang Maha Esa.
Suatu hari Al-Hallaj pernah
berkata: “Telah ku merenung amat panjang agama-agama, aku temukan satu akar
dari berbagai banyak cabang”. Sebagaimana Al-Hallaj, Gandhi menyuarakan
pendapat serupa. Bahwa agama itu seperti cabang-cabang dari pohon yang sama,
bunga-bunga dari satu kebun, saudara sekandung dari satu keluarga. Dapat
disimpulkan, sesungguhnya agama yang terbaik itu bukan Hindu, Budha, Yahudi,
Kristen, Islam ataupun yang lainnya, tapi semuanya. Pada dasarnya semua
agama itu bermuara pada satu kebenaran. Mengapa demikian? Karena semua agama
mengajarkan kebaikan, tidak mengajarkan keburukan. Dengan agama apa pun kita
bisa menjadi lebih baik, lebih adil, lebih bijaksana, lebih mencintai sesama,
lebih manusiawi, lebih beretika, lebih bertanggung jawab. Dengan agama
apa pun, kita bisa mendekatkan diri dengan Tuhan.
Membangun Tradisi Dialog
Dialog
agama bukanlah debat, melainkan proses komunikasi antar pemeluk agama dalam
rangka memahami ajaran, pemahaman, dan pemikiran dalam setiap agama. Esensi
dari dialog agama adalah ta’aruf (saling memahami). Tetapi, menurut
Ahmad Wahib dalam Pergolakan Pemikiran Islam mengatakan bahwa tujuan
dialog agama bukan sekedar saling memahami dan mencari titik pertemuan (kalimah
sawa). Menariknya, masih menurut Ahmad Wahib, tujuan dialog agama adalah
untuk pembaharuan, perubahan, transformasi, baik individu maupun sosial, ke
arah yang lebih ideal.
Pada dasarnya, dialog antar
agama tidak akan tercapai apabila pemahaman keagamaan kita masih fanatik,
keras, terutup, konservatif, dan esklusif. Mengapa demikian? Karena pemahaman yang
seperti ini akan menggiring kita kepada klaim kebenaran (truth claim)
masing-masing penganut agama. Akibatnya, pandangan seperti akan menutup upaya
dialog dan mencari titik temu agama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
sosial. Maka dari itu, modal utama dari dialog antar agama adalah berpikiran
terbuka, inklusif, toleran, dan pluralis. Pandangan seperti ini akan membawa
kita kepada sebuah kesadaran akan relativitas agama-agama, dimana tidak menutup
kemungkinan bahwa kebenaran dan keselamatan ada di setiap agama. Kalau modal
itu sudah kita punya, proses dialog agama pasti akan berjalan dengan baik.
Berangkat dari perbedaan yang
sudah menjadi fakta sosial, dialog agama sangat penting sebagai salah satu
solusi atas berbagai konflik beragama. Dialog agama merupakan sebuah mekanisme
yang harus dibangun, dikembangkan, dijaga, dirawat secara terus menerus oleh
para penganut agama. Sudah barang tentu, dialog saja tidak cukup. Dibutuhkan
aksi nyata oleh para penganut agama demi terciptanya kerukunan antar umat
beragama. Misalkan dengan cara melakukan kerjasama dalam mengurangi kemiskinan,
membantu korban bencana alam, dan menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan.
Sebagai penutup,
penulis hendak mengutip pendapat Leonard Swidler, dalam jurnalnya The
Dialogue Decalogue yang menerangkan tentang 10 desain format dialog agama, pertamasedia
belajar, kedua harus dua arah (dua pihak pemeluk agama), ketiga masing-masing
pemeluk agama harus bersikap jujur dan ikhlas, keempat perbandingan yang
adil, maksudnya tidak boleh membandingkan antara konsep dan praktek, hendaknya
membandingkan konsep dengan konsep atau praktek dengan praktek, kelima
harus memposisikan dirinya sesuai dengan eksistensinya sendiri (identitas yang
otentik), keenam masing-masing pihak dalam dialog antaragama harus
menghilangkan prasangka satu dengan yang lainnya,ketujuh dialog agama
hanya bisa dilakukan dengan posisi yang seimbang (kesetaraan), kedelapan
saling percaya satu sama lain, kesembilan kritis pada tradisi sendiri,
jadi masing-masing pihak dalam dialog agama harus sadar bahwa diri dan
keberagamannya masih perlu penyempurnaan, kesepuluh mengalami dari dalam
(passing over), pernyataan terakhir ini yang menurut penulis paling
menarik karena masing-masing pihak dalam dialog agama harus mencoba agama atau
kepercayaan lain, dalam istilah lain melakukan “magang.” Pertanyaannya,
mampukah masing-masing pemeluk agama membangun dan melaksanakan tradisi dialog
seperti ini? Wallahualam bi shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar